Jumat, 25 Maret 2011

Mekanisme Hormonal terhadap perkembangan corpus luteum dalam siklus birahi

Mekanisme Hormonal terhadap perkembangan corpus luteum dalam siklus birahi
Oleh :
Nama : Jaidin
Nim : I 11109276
Jurusan : Produksi Ternak

Prof, sebelumnya saya minta maaf karena saya terlambat mengirimkan tugas ini.hal ini disebabkan kesalahpahaman saya. Saya mengira tugas ini dibuat dalam bentuk paper. Demikian untuk dimaklumi.Jazakallahu khoiron.

Skema siklus birahi

Hipotalamus

GnRH

Hipofisa Anterior
(+)
(-)

estrogen Progesteron

FSH LH
inhibin

CL

Ovary

Hipotalamus menghasilkan hormone GnRH kemudian menstimulasi hipofisa anterior menghasilkan FSH dan LH. LH menekan ovary menghasilkan Corpus Luteum. Dimana Corpus Luteum menghasilkan Progesteron, tetapi memiliki feed back negative sehingga menekan hipofisa untuk menghasilkan FSH dan LH. Sedangkan pada FSH menstimulasi perkembangan folikel dan pembentukan estrogen dan memiliki feed back positif terhadap hipotalamus untuk mensekresikan FSH dan LH. Hormon Inhibin memiliki feed back negative terhadap stimulasi pembentukan FSH. Tingginya estrogen menyebabkan umpan balik positif terhadap hipotalamus dan hipofisa anterior sehingga FSH dan LH mencapai level tertinggi.
Fungsi Utama dari FSH (Folicle Stimulating Hormone) ialah untuk menstimulasi pertumbuhan folikel. FSH menstimulir pertumbuhan dan maturasi dari folikel de Graaf sehingga merupakan factor primer yang merangsang pertumbuhan ovarium.
Hormon LH (Luteinizing Hormone) menyebabkan terjadinya ovulasi dan corpus luteum terbentuk. Fungsi LH adalah bersama-sama dengan FSH mengakibatkan folikel menjadi masak sehingga terjadi ovulasi. Oleh pengaruh LH sisa folikel de Graaf berkembang menjadi korpus luteum.
Progesteron berfungsi dalam pemeliharaan kebuntingan dan pemeliharaan mammae. Untuk memantapkan kebuntingan, menghambat tingkah laku seksual dan merangsang pertumbuhan alveoli pada kelenjar ambing. Sedangkan hormone Inhibin adalah hormone yang dihasilkan oleh sel-sel granulose folikelovarium yang secara selektif mampu menekan pelepasan FSH.


Terjadinya suatu reproduksi diperlukan terlebih dahulu akan adanya perkawinan karena setelah kawin lebih lanjut didalam saluran reproduksi betina dipertemukan bibit dari pejantan dan betina, dipelihara dan dibesarkan serta bila sudah cukup umur dilahirkan untuk menjadi suatu mahluk hidup baru.
Organ kelamin primer pada betina adalah ovarium, didalam ovarium ini dihasilkan sel kelamin betina atau ovum, serta untuk mensekresikan beberapa hormone kelamin betina seperti progesterone dan estrogen. Tempat pematangan atau pembungkus dari ovum mulai sejak dibentuk pada tubuli seminifer sampai akan melakukan fertilisasi disebut folikel.

Folikel ini mempunyai beberapa tahap perkembangan untuk siap membuahi sel kelamin jantan yang telah menunggu pada bagian AIJ (Ampulla Isthmus Junction). Kualitas dari ovum ini ditentukan pula oleh mekanisme hormonal oleh ovarium. Bila menghasilkan hormone FSH maka proses pembentukan folikel akan berjalan baik, tetapi apabila FSH tidak ada maka tidak akan terjadi pemecahan folikel de graaf atau folikel preovulasi keluar dari ovarium

Strategi Dalam Pencapaian Swasembada Daging Sapi

Strategi Dalam Pencapaian Swasembada Daging Sapi

Swasembada daging, khususnya daging sapi, sebagaimana yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 59/Permentan/HK.060/8/2007 tentang Pedoman Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi (P2SDS). Melalui kegiatan P2SDS tersebut diharapkan pada tahun 2010, kebutuhan daging sapi bagi masyarakat sudah dapat dipenuhi dari dalam negeri minimal sebesar 90 % atau 281,90 ribu ton.

Strategi yang ditempuh dalam pencapaian swasembada daging sapi dilakukan melalui (1) Pengembangan sentra perbibitan dan penggemukan; (2) Revitalisasi kelembagaan dan SDM Fungsional di lapangan; dan (3) Dukungan sarana dan prasarana. Starategi tersebut diimplementasikan melalui tujuh langkah operasional yang meliputi : 1. Optimalisasi akseptor dan kelahiran IB Pada tahun 2009, ditargetkan untuk pelaksanaan Inseminasi Buatan (IB) bagi 1.983.956 ekor akseptor dengan penyediaan semen beku sebanyak 2.096.831 dosis. 2. Penanganan gangguan reproduksi dan penyakit hewan pada tahun 2009, direncanakan pemeriksaan gangguan reproduksi bagi 46.943 ekor induk dan pemeriksaan penyakit Brucellosis sebesar 17.203 ekor 3. Perbaikan mutu bibit dilakukan baik secara penambahan jumlah maupun peningkatan kualitas. Upaya perbaikan mutu bibit dilakukan salah satunya melalui penyebaran Sapi Brahman cross, sebanyak 7.836 ekor dalam keadaan bunting, sampai saat sekarang telah berhasil melahirkan anak sebanyak 3.600 ekor serta membangun atau memperkuat kelompok usaha pembibit ternak yang berdaya saing, mandiri dan berkelanjutan sehingga terbentuknya Village Breeding Centre. 4. Pengembangan Rumah Potong Hewan (RPH) dan pengendalian pemotongan betina produktif. Pengendalian pemotongan betina produktif dilakukan bekerjasama dengan Dinas Peternakan Daerah, sedangkan untuk perbaikan RPH telah dilakukan pada 8 RPH. 5. Intensifikasi kawin alam kebutuhan pejantan untuk menunjang kebutuhan intensifikasi kawin alam tahun 2008 dibutuhkan 1.874 ekor yang dilaksanakan bekerjasama dengan Dinas Peternakan Daerah. 6. Pengembangan pakan lokal dalam rangka pengembangan pakan lokal telah dibangun kebun rumput seluas 3.835 Ha dan padang panggonan seluas 9 Ha, disamping itu dikembangkan pola integrasi sapi dengan tanaman perkebunan. 7. Pengembangan pakan lokal pengembangan SDM, kelembagaan dan kegiatah pendukung yang diimplementasikan melalui kegiatan Sarjana Membangun Desa (SMD). Pengembangan SDM dan kelembagaan juga dilakukan melalui penumbuhan Unit Lapangan IB (ULIB) dan pelatihan tenaga teknis (inseminator, PKB dan ATR).

KEMBAR SIAM

KEMBAR SIAM
Kembar siam adalah keadaan anak kembar yang tubuh keduanya bersatu. Hal ini terjadi apabila zigot dari bayi kembar identik gagal terpisah secara sempurna. Kemunculan kasus kembar siam diperkirakan adalah satu dalam 200.000 kelahiran. Yang bisa bertahan hidup berkisar antara 5% dan 25%, dan kebanyakan (75%) berjenis kelamin perempuan.
Istilah kembar siam berawal dari pasangan kembar siam terkenal Chang dan Eng Bunker (1811-1874) yang lahir di Siam (sekarang Thailand). Kasus kembar siam tertua yang tercatat adalah Mary dan Eliza Chulkhurst dari Inggris yang lahir di tahun 1100-an
Penyebab Kelahiran Kembar
Banyak faktor diduga sebagai penyebab kehamilan kembar. Selain faktor genetik, obat penyubur yang dikonsumsi dengan tujuan agar sel telur matang secara sempurna, juga diduga ikut memicu terjadinya bayi kembar. Alasannya, jika indung telur bisa memproduksi sel telur dan diberi obat penyubur, maka sel telur yang matang pada saat bersamaan bisa banyak, bahkan sampai lima dan enam
Proses
Secara garis besar, kembar dibagi menjadi dua. Monozigot, kembar yang berasal dari satu telur dan dizigot kembar yang berasal dari dua telur. Dari seluruh jumlah kelahiran kembar, sepertiganya adalah monozigot. Kembar dizigot berarti dua telur matang dalam waktu bersamaan, lalu dibuahi oleh sperma. Akibatnya, kedua sel telur itu mengalami pembuahan dalam waktu bersamaan. Sedangkan kembar monozigot berarti satu telur yang dibuahi sperma, lalu membelah dua. Masa pembelahan inilah yang akan berpengaruh pada kondisi bayi kelak.
Masa pembelahan sel telur terbagi dalam empat waktu, yaitu 0 - 72 jam, 4 - 8 hari, 9-12 dan 13 hari atau lebih. Pada pembelahan pertama, akan terjadi diamniotik yaitu rahim punya dua selaput ketuban, dan dikorionik atau rahim punya dua plasenta. Sedangkan pada pembelahan kedua, selaput ketuban tetap dua, tapi rahim hanya punya satu plasenta. Pada kondisi ini, bisa saja terjadi salah satu bayi mendapat banyak makanan, sementara bayi satunya tidak. Akibatnya, perkembangan bayi bisa terhambat. Lalu, pada pembelahan ketiga, selaput ketuban dan plasenta masing-masing hanya sebuah, tapi bayi masih membelah dengan baik.
Pada pembelahan keempat, rahim hanya punya satu plasenta dan satu selaput ketuban, sehingga kemungkinan terjadinya kembar siam cukup besar. Pasalnya waktu pembelahannya kelamaan, sehingga sel telur keburu berdempet. Jadi kembar siam biasanya terjadi pada monozigot yang pembelahannya lebih dari 13 hari.
Dari keempat pembelahan tersebut, tentu saja yang terbaik adalah pembelahan pertama, karena bayi bisa membelah dengan sempurna. Namun, keempat pembelahan ini tidak bisa diatur waktunya. Faktor yang mempengaruhi waktu pembelahan, dan kenapa bisa membelah tidak sempurna sehingga mengakibatkan dempet, biasanya dikaitkan dengan infeksi, kurang gizi, dan masalah lingkungan
Persentase hidup
Sejumlah kesimpulan medis menyebutkan, terjadi satu kasus kembar siam untuk setiap 200 ribu kelahiran. Jadi, jika Indonesia berpenduduk 200 juta, ada peluang 1.000 kasus kembar siam!. Dari semua kelahiran kembar siam, diyakni tak lebih dari 12 pasangan kembar siam yang hidup di dunia. Saat dilahirkan kebanyakan kembar siam sudah dalam keadaan meninggal, yang lahir hidup hanya sekitar 40 persen.
Dari mereka yang lahir hidup, 75 persen meninggal pada hari-hari pertama dan hanya 25 persen yang bertahan hidup. Itu pun sering kali disertai dengan kelainan bawaan dalam tubuhnya (incomplete conjoined twins). Apakah itu organ pada bagian ekstoderm, yakni kulit, hidung dan telinga, atau mesoderm yang mencakup otot, tulang dan saraf, atau bias juga indoderm, yakni bagian organ dalam seperti hati, jantung, paru dan otak
Pembagian jenis kembar siam
Kembar siam itu sendiri yang kebanyakan berjenis kelamin perempuan, terbagi dalam beberapa jenis kasus, yang didasari posisi pelekatan keduanya.
Dari seluruh kembar dempet, kebanyakan dempet terjadi pada empat anggota tubuh, yaitu dada sebanyak 40 persen, perut 35 persen, kepala 12 persen dan panggul antara enam hingga sepuluh persen.
Ada beberapa jenis kembar siam:
Thoracopagus: kedua tubuh bersatu di bagian dada (thorax). Jantung selalu terlibat dalam kasus ini. Ketika jantung hanya satu, harapan hidup baik dengan atau tanpa operasi adalah rendah. (35-40% dari seluruh kasus)
Omphalopagus: kedua tubuh bersatu di bagian bawah dada. Umumnya masing-masing tubuh memiliki jantung masing-masing, tetapi biasanya kembar siam jenis ini hanya memiliki satu hati, sistem pencernaan, diafragma dan organ-organ lain. (34% dari seluruh kasus)
Xiphopagous: kedua tubuh bersatu di bagian xiphoid cartilage.
Pygopagus (iliopagus): bersatu di bagian belakang. (19% dari seluruh kasus)
Cephalopagus: bersatu di kepala dengan tubuh yang terpisah. Kembar siam jenis ini umumnya tidak bisa bertahan hidup karena kelainan serius di otak. Dikenal juga dengan istilah janiceps (untuk dewa Janus yang bermuka dua) atau syncephalus.
Cephalothoracopagus: Tubuh bersatu di kepala dan thorax. Jenis kembar siam ini umumnya tidak bisa bertahan hidup. (juga dikenal dengan epholothoracopagus atau craniothoracopagus)
Craniopagus: tulang tengkorak bersatu dengan tubuh yang terpisah. (2%)
Craniopagus parasiticus - bagian kepala yang kedua yang tidak memiliki tubuh.
Dicephalus: dua kepala, satu tubuh dengan dua kaki dan dua atau tiga atau empat lengan (dibrachius, tribrachius atau tetrabrachius) Abigail dan Brittany Hensel, adalah contoh kembar siam dari Amerika Serikat jenis dicephalus tribrachius.
Ischiopagus: kembar siam anterior yang bersatu di bagian bawah tubuh. (6% dari seluruh kasus)
Ischio-omphalopagus: Kembar siam yang bersatu dengan tulang belakang membentuk huruf-Y. Mereka memiliki empat lengan dan biasanya dua atau tiga kaki. Jenis ini biasanya memiliki satu sistem reproduksi dan sistem pembuangan.
Parapagus: Kembar siam yang bersatu pada bagian bawah tubuh dengan jantung yang seringkali dibagi. (5% dari seluruh kasus)
Diprosopus: Satu kepala dengan dua wajah pada arah berlawanan.








TUGAS KULIAH
DASAR REPRODUKSI TERNAK













OLEH :
NAMA : JAIDIN
NIM : I 11109276
JURUSAN : PRODUKSI TERNAK




UNIVERSITAS HASANUDDIN
FAKULTAS PETERNAKAN
MAKASSAR
2011

ORGAN REPRODUKSI BETINA

TUGAS II
DASAR REPRODUKSI TERNAK

ORGAN REPRODUKSI BETINA



OLEH
JAIDIN
I 111 09276
PRODUKSI TERNAK


FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2011
PERKEMBANGAN ORGAN REPRODUKSI

Keberhasilan reproduksi akan sangat mendukung peningkatan populasi sapi potong. Namun kondisi sapi potong di usaha peternakan rakyat, hingga saat ini sering dijumpai adanya kasus gangguan reproduksi yang ditandai dengan rendahnya fertilitas induk, akibatnyaberupa penurunan angka kebuntingan dan jumlah kelahiran pedet,sehingga mempengaruhi penurunan populasi sapi dan pasokanpenyediaan daging secara nasional. Perlu dicarikan solusi untukmeningkatkan populasi sapi potong dalam rangka mendukungkecukupan daging sapi secara nasional tahun 2010.Gangguan reproduksi yang umum terjadi pada sapi diantaranya adalah keguguran dan kelahiran prematur/sebelum waktunya. Perkembangan alat reproduksi pada hewan awalna dimulai sebelum kelahiran. Proses terbentuknya antara alat reproduksi jantan dengan alat reproduksi betina dimulai dari deferensiasi gonad. Awalnya sel sperma yang berkromosom Y akan berdeferensiasi awal menjadi organ jantan dan yang X menjadi organ betina. Deferensiasi lanjut kromosom Y membentuk testis sedangkan kromosom X membentuk ovarium.
Proses deferensiasi menjadi testis dimulai dari degenerasi cortex dari gonad dan medulla gonad membentuk tubulus semineferus. Di celah tubulus sel mesenkim membentuk jaringan intertistial bersama sel leydig. Sel leydig bersama dengan sel sertoli membentuk testosteron dan duktus muller tapi duktus muller berdegenerasi akibat adanya faktor anti duktus muller, testosteron berdeferensiasi menjadi epididimis, vas deferent, vesikula seminlis dan duktus mesonefros.
Karena ada enzim 5 alfareduktase testosteron berdeferensiasi menjadi dihidrotestosteron yang kemudian pada epitel uretra terbentuk prostat dan bulbouretra. Selanjunya mengalami pembengkakan dan terbentuk skrotum. Kemudian testis turun ke pelvis terus menuju ke skrotum. Mula-mula testis berada di cekukan bakal skrotum saat skrotum makin lama makin besar testis terpisah dari rongga pelvis.
Sedangkan kromosom X yang telah mengalami deferensiasi lanjut kemudian pit primer berdegenerasi membentuk medula yang terisi mesenkim dan pembuluh darah, epitel germinal menebal membentuk sel folikel yang berkembang menjadi folikel telur. Deferensiasi gonad jadi ovarium terjadi setelah beberapa hari defrensiasi testis. Di sini cortex tumbuh membina ovarium sedangkan medula menciut. PGH dari placenta mendorong pertumbuhan sel induk menjadi oogonia, lalu berplorifrasi menjadi oosit primer. Pada perempuan duktus mesonefros degenerasi. Saat gonad yang berdeferensiasi menjadi ovarium turun sampai rongga pelvis kemudian berputar sekitar 450 letaknya menjadi melintang.
Penis dan klitoris awalnya pertumbuhannya sama yaitu berupa invagina ectoderm (phalus). Klitoris sebenarnya merupakan sebuh penis yang tidak berkembang secara sempurna. Pada jantan evagina ectoderm berkembang bersama terbawanya sinus urogenitalis dari cloaca. Pada perkembangan yang lain labioskrotal pada jantan akan berkembang menjadi kantung skrotum yang berfungsi untuk melindungi testis yang dimana testis ini berfungsi memproduksi spermatozoa. Sedangkan pada betina labioskrotal akan berkembang menjadi labium major. Kedudukan antara testis dengan ovarium sama sebelum dilahirkan yaitu di dalam rongga perut.
1. Organ reproduksi Jantan
Testis adalah organ reproduksi pasangan dalam skrotum, yang menggantung di luar tubuh ternak jantan. Normal produksi sperma membutuhkan suhu yang lebih dingin di luar. Setiap testis berisi gulungan tubulus seminiferus di mana sperma (sel reproduksi jantan) produksi terjadi. Antara tubulus seminiferus adalah sel Leydig, kelompok endokrin (sekretorik) sel. Sel Leydig memproduksi androgen (hormon seks), terutama testosteron.

sel sperma memiliki tiga bagian: kepala, bagian tengah, dan ekor. Sebuah acrosome di ujung kepala menghasilkan enzim yang membantu menembus sel telur betina (telur). Selama pembuahan, kromosom (bahan genetik) dalam inti (pusat kontrol sel) bergabung dengan kromosom dalam sel telur. Bagian tengah mengandung mitokondria, struktur yang menyediakan energi bagi sperma. Mitokondria secara ketat berputar di sekitar aksial filamen (kontraktil bagian) dari flagela (ekor). Sentriol membentuk ekor, yang bergerak sperma menuju ovum. Sebuah ejakulasi (pengusiran sperma dari penis) telah 300 untuk 500 juta sperma. Aksesori sekresi saluran dari testis dan aksesori sekresi kelenjar dan mengirimkan ke penis. Epididimis, sebuah tabung melingkar di sebelah setiap testis, menerima sperma dari tubulus seminiferus. Epididimis memiliki tiga bagian: kepala, badan, dan ekor. epididimis sperma dan mendorong ke arah penis. Kontraksi otot polos di dinding epididimis sperma bergerak melalui saluran. Seperti sperma melewati epididimis, sperma matang dan menerima makanan
Vas deferens adalah bagian kelanjutan dari epididimis. Vas deferens lewat di belakang kandung kemih dan mengembang untuk membentuk ampula (diperluas bagian akhir). Setiap ampula bergabung dengan vesikula seminalis (kelenjar aksesori) untuk membentuk saluran ejakulasi. Vas deferens adalah pembawa sperma utama. Dindingnya mengandung tiga lapisan otot polos innervated oleh saraf simpatik. Stimulasi saraf ini mendorong sperma ke saluran ejakulasi. Di sini, ampula vas deferens dan vesikula seminalis bertemu dan cairan dari vesikula seminalis dan sperma yang disimpan. Dari pertemuan ini, yang ejakulasi melewati saluran kelenjar prostat, dimana mereka menerima lebih sekret, kemudian bergabung dengan satu uretra (tabung melalui sperma dan air seni).
Uretra adalah bagian terakhir dari sistem saluran. Lewat dari kandung kemih dan ujung-ujung saluran ejakulasi melalui kelenjar prostat dan masuk ke penis. Uretra menerima sekresi dari saluran ejakulasi, kelenjar prostat, dan kelenjar Cowper (kelenjar aksesori). Uretra membawa sperma melalui penis selama hubungan seksual; selama buang air kecil, urin melewati itu. Uretra tidak dapat menjalankan kedua fungsi secara bersamaan. Selama ejakulasi, otot sfingter (otot cincin) dari kandung kemih menutup.
Kelenjar aksesori menghasilkan cairan yang memelihara dan memberi energi pada sperma untuk perjalanan ke ovum. Sebagai contoh, selama kesenangan seksual vesikula seminalis ditambahkan pada sperma lendir dalam saluran ejakulasi. Sekresi ini menyediakan energi bagi sperma dan menetralkan bahan kimia yang mengurangi keasaman vagina.
Kelenjar prostat terletak di bawah kandung kemih dan mengelilingi bagian pertama uretra. sekresi juga membantu menetralisir keasaman vagina dan membuat sperma yg dpt mengubah tempat (dapat bergerak).
Kelenjar Cowper mengeluarkan yang cairan bening yang menetralkan keasaman urin yang tersisa dalam uretra. Ketika sekresi kelenjar ini menggabungkan dengan sperma, hasilnya adalah air mani, atau air mani. Hanya 1 persen dari air mani adalah sperma. Sisanya mengandung fruktosa untuk memberi makan sperma, sebuah komponen basa untuk menetralkan keasaman vagina dan uretra, dan garam dan fosfolipid, zat yang membuat sperma yang dapat mengubah tempat.
Penis merupakan deposito air mani ke dalam vagina selama hubungan seksual dan membawa air seni melalui uretra selama buang air kecil. Mengandung jaringan ereksi yang menjadi membesar dengan darah selama kesenangan seksual, sehingga menghasilkan ereksi. Penis termasuk poros (tubular bagian), kelenjar (penis tip dan pusat sensasi seksual).














Zygote : sel yang berasal dari penyatuan gamet jantan dan gemet betina


Fertilisasi
Sebelum spermatozoa dapat membuahi ovum, maka spermatozoa harus mengalami pematangan. Kemudian spermatozoa mengalami peristiwa :
1. reaksi kapasitasi : selama beberapa jam, protein plasma dan glikoprotein yang berada dalam cairan mani diluruhkan.
2. reaksi akrosom : setelah dekat dengan oosit, sel sperma yang telah menjalani kapasitasi akan terpengaruh oleh zat-zat dari corona radiata ovum, sehingga isi akrosom dari daerah kepala sperma akan terlepas dan berkontak dengan lapisan corona radiata. Pada saat ini dilepaskan hialuronidase yang dapat melarutkan corona radiata, trypsine-like agent dan lysine-zone yang dapat melarutkan dan membantu sperma melewati zona pellucida untuk mencapai ovum.
Spermatozoa yang telah matang pada saat terjadi kopulasi, spermatozoa di semperotkan ke dalam vagina. Karena keasaman pH vagina sehingga sebagian besar sel spermatozoa gugur , sehingga hanya spermatozoa yang berada di tengah saja yang mampu meneruskan perjalannya. Kemudian spermatozoa masuk kedalam cerviks, karena kedaan ceviks yang sangat berliku – liku sehingga sebagian spermatozoa tidak mampu bertahan dan akhirnya mati sebelum berhasil membuahi ovum. Spermatozoa yang masih mampu bertahan kemudian masuk ke dalam uterus, di dalam uterus ini sebagian spermatozoa di makan oleh sel – sel darah putih yang terdapat di dalam uterus. Spermatozoa yang berhasil tidak termakan oleh sel darah putih dalam uterus, maka spermatozoa mulai kehabisan energi sehingga sebagian mati di dalam perjalanan menuju ke dalam tuba fallopi. Kemudian sperma berhenti di AIJ untuk menambah energi dan menunggu ovum yang dating. Ovum yang berhasil di ovulasikan akan menuju ke AIJ (Ampulla Isthmus Junction). Pada saat ovum datang sel spermatozoa belomba – lomba menuju ovum. Spermatozoa yang paling pertama berhasil menuju ovum, maka secara otomatis granu – granu kortikoid akan berjatuhan. Dan membrane vitellin akan menebal. Hal inilah yang disebut dengan blockade vitellin ( Yosemite, 2009 ).
Perkembangan Embrio
Embrio : telur yang sudah dibuahi yang akhirnya menjadi anak selama priode perkembangan.
Hasil fertilisasi yang telah terbentuk, akan melebur dan membentuk zigot. Kemudian zigot ini akan di bawa ke dalam uterus. Kemudian hormone progesterone meningkat, sehingga merangsang vaskularisasi dinding endometrium yang merangsang persiapan dinding endometrium untuk mampu mempertahankan embrio nantinya. Zigot yang telah terbentuk mulai mengalami perkembangan, dan membentuk di dinding endometrium dan berkembang menjadi embrio dan seterusnya menjadi janin.. Setelah embrio telah matang, maka embrio akan melakukan gerakan – gerakan yang merupakan rangsangan untuk memicu terjadinya kontraksi dinding endometrium uterus untuk mengeluarkan janin.
Cleavage : pembelahan menjadi bagian yang terpisah pembelahan awal berturut-turut dari telur yang telah dibuahi menjadi sel-sel yang lebih kecil (blastomer) melalui proses mitosis.
2. Organ Reproduksi Betina
Dibedakana menjasi organ kelamin luar dan organ kelamin dalam.
Organ reproduksi luar terdiri dari :
1. Vagina merupakan saluran yang menghubungkan organ uterusdengan tubuh bagian luar. Berfungsi sebagai organ kopulasi dan saluran keluarnya anak. Sehingga sering disebut dengan liang peranakan. Di dalam vagina ditemukan selaput dara.
2. Vulva merupakan suatu celah yang terdapat dibagian luar dan terbagi menjadi 2 bagian yaitu :
 Labium mayor merupakan sepasang bibir besar yang terletak dibagian luas dan membatasi vulva.
 Labium minor merupakan sepasang bibir kecil yang terletak d bagian dalam dan membatasi vulva
Organ reproduksi dalam terdiri dari :
1. Ovarium merupakan organ utama pada betina. Berjumlah sepasang sebelah kiri dan kanan. Berfungsi untuk menghasilkan sel ovum dan hormone wanita seperti :
 Estrogen yang berfungsi untuk mempertahankan sifat sekunder pada wanita, serta juga membantu dalam prosers pematangan sel ovum.
 Progesterone yang berfungsi dalam memelihata masa kehamilan.
2. Fimbriae merupakan serabut/silia lembut yang terdapat di bagian pangkal ovarium berdekatan dengan ujung saluran oviduct. Berfungsi untuk menangkap sel ovum yang telah matang yang dikelurakan oleh ovarium.
3. Infundibulum merupakan bagian ujung oviduct yang berbentuk corong/membesar dan berdekatan dengan fimbriae. Berfungsi menampung sel ovum yang telah ditangkap oleh fimbriae.
4. Tuba fallopi merupakan saluran memanjang setelah infundibulum yang bertugas sebagai tempat fertilisasi dan jalan bagi sel ovum menuju uterus dengan abantuan silia pada dindingnya.
5. Oviduct merupakan saluran panjang kelanjutandari tuba fallopi. Berfungsi sebagai tempat fertilisasi dan jalan bagi sel ovum menuju uterus denga bantuana silia pada dindingnya.
6. Uterus merupakan organ yang berongga dan berotot. Berbentuk seperti buah pir dengan bagian bawah yang mengecil. Berfungsi sebagai tempat pertumbuhan embrio. Tipe uterus pada manusia adalah simpleks yaitu dengan satu ruangan yang hanya untuk satu janin. Uterus mempunyai 3 macam lapisan dinding yaitu :
 Perimetrium yaitu lapisanyang terluar yang berfungsi sebagai pelindung uterus.
 Miometrium yaitu lapisan yang kaya akan sel otot dan berfungsi untuk kontraksi dan relaksasi uterus dengan melebar dan kembali ke bentuk semula setiap bulannya.
 Endometrium merupakan lapisan terdalam yang kaya akan sel darah merah. Bila tidak terjadi pembuahanmaka dinding endometrium inilah yang akan meluruh bersamaan dengan sel ovum matang.
7. Cervix merupakan bagian dasar dari uterus yang bentuknya menyempit sehingga disebut juga sebagai leher rahim. Menghubungkan uterus dengan saluran vagina dan sebagai jalan keluarnya janin dari uterus menuju saluran vagina.
8. Saluran vagina merupakan saluran lanjutan dari cervic dan sampai pada vagina.
9. Klitoris merupakan tonjolan kecil yangt erletak di depan vulva. Sering disebut dengan klentit.

Bangsa-bangsa sapi potong

Shorthorn
– Berasal dari inggris timur laut di lembah sungai Tees antara Durham dan York. Bangsa sapi yang pertama memiliki Herdbook.
– Hasil pemuliaan sapi hitam berambut tebal dan bertanduk panjang dari irlandia dengan sapi belang bertanduk pendek.
• Ciri-ciri
– Daya cerna baik, daging berkualitas baik, warna merah bercampur dengan warna putih
– Tanduk pendek melengkung ke dalam
– Menghasilkan susu yang cukup banyak

Pollet Shorthorn
• Sapi shorthorn yang tak bertanduk, dikembangkan di Ohio US, berasal dari Indiana, Illionis dan Minesota thn 1870 – 1890.
• Ciri-ciri
– Berat jantan : 2200 lb, betina 1700 lb
– Berat pada umur 400 hr mrncapai ½ berat dewasa
– Berat badan umur 700 hr mencapai ¾ berat dewasa
Hereford
• Berasal dari Herefordshire Inggris tengah dengan berat badan sedikit lebih rendah dari Shorthorn
• Sifat-sifat :
– Daya tahan tubuh tinggi dengan sifat yang tenang
– Kemampuan merumput yang lebih baik
– Cepat gemuk dengan marbling yang kurang

Aberdeen Angus
• Berasal dari scotlandia Timur Laut
• Sifat-sifat :
– Daging berkualitas tinggi
– Karkas tidak rata karena lemak
• Ciri-cirinya :
– Warna seluruhnya hitam
– Tidak bertanduk (dominan)
– Kaki lebih pendek dari Hereford dan Shorthorn
Charolais
• Berasal dari propinsi Charolais Perancis. Mungkin keturunan sapi Jura, Swiss.
• Ciri-ciri :
– Tidak bertanduk
– Warna putih gading
– Hidung berwarna hitam
– Pertumbuhan cepat dengan daging agak merah dan sedikit berlemak
– Tubuh padat tapi kurang rata
– Cenderung mengalami kesulitan partus

Brahman
• Berasal dari daerah tropis (India) merupakan campuran dari bermacam sapi bos indicus (Mysore, Ongole, Hissar, Kankrey, Krishna, Gir, Hariana dan Bhagnari)
• Ciri-ciri
– Warna putih kelabu, kadang bertotol-totol, jantan mempunyai warna hitam di kepala
– Terdapat kelasa (punuk) di atas dada yaitu daging yang menggumpal.
– Mempunyai gelambir antara kaki depan sampai ke perut
– Tubuh sempit (tipis) dengan kaki agak panjang
– Kepala panjang dan teliga mengantung
– Penakut, dan bila dibiarkan dapat menjadi liar
– Berat badan yang dikebiri (3 thn) : 1.394 lb dengan % karkas 64,4%

Santa Gertrudis
• Dibentuk di King Ranch texas selatan tahun 1910, hasil persilangan Brahman jantan dengan betina Shorthorn (3/8 Brahman dan 5/8 Shorthorn)
• Ciri-cirinya :
– Warna merah terang (merah tua)
– Tubuh padat dan bertanduk pendek
– Telinga agak terkulai
– Mempunyai lipatan kulit, sedang kelasa mulai hilang
– Berambut pendek dan licin

Brangus
• Hasil persilangan Brahman dengan Angus. (3/8 Brahman dan 5/8 Aberdeen Angus).
• Ciri-ciri :
– Tahan terhadap panas matahari
– Tahan terhadap insekta
– Dapat menyesuaikan diri dengan pasture yang jelek
– Kualitas daging baik
– Dapat menyesuaikan diri dengan iklim yang bermacam-macam
Beef Ford (Braford)
• Hasil persilangan Brahman dengan Hereford, masih labil.
• Sifat-sifatnya :
– Tumbuh dengan baik
– Tahan terhadap penyakit
– Dapat menyesuaikan diri di daerah-daerah teluk
– Warna merah atau merah dan putih di bagian muka, yaitu putih coklat tua.
Beef Master
• Hasil perkawinan jantan Brahman dengan betina Hereford. Terus dibackcross dengan shorthorn sehingga terbentuk Beef Master. Kemungkinan perbandingan darah 50% Brahman, 25% Hereford dan 25% Shorthorn
• Sifat-sifat :
– Tidak ada warna spesifik
– Bertanduk
– Dapat menyesuaikan diri dengan bermacam kondisi
– Kualitas karkas baik, meskipun badan tidak kompak

Charbray
• Persilangan antara Brahman dengan Charolais, kemungkinan darah Brahman tidak lebih 35%.
• Sifat-sifat :
– Warna, yang dewasa cream putih
– Pertumbuhan cepat dan merumput dengan baik
– Tubuh besar dan bertanduk
– Berat jantan 2.500 – 3.200 lb, Betina 1.700 – 2.200 lb
Galloway
• Merupakan ras asli dari scotlandia barat daya, sapi tertua di daerah dingin.
• Sifat-sifatnya :
– Bulu tebal yang memungkinkan untuk hidup di daerah dingin, warna hitam
– Tidak bertanduk
– Kaki pendek
– Badan seperti balok dan padat
Hissar dan Kankrej
• Berasal dari punjab dan Gujarat (India)
• Pernah dimasukkan ke Indonesia tapi tidak berkembang dengan baik, sisa disumatra (Padang lawas) berkembang dengan baik.
Sapi asli Indonesia
• Sapi Bali
– Warna kuning, warna jantan setelah dewasa hitam, ciri khusus warna putih di kaki dan dibagian belakang pelvis, tepi daun telinga, dan bibir bawah.
• Sapi Jawa
– Badan kecil dan pendek, jantan tingginya 1,20 m, betina 1,10
– Bulunya kuning
– Dada agak tipis
• Sapi Madura
– Bentuk hampir sama dengan sapi jawa
– Berat bisa sampai 300 kg, mempunyai sedikit punuk
Longhorn
• Bertanduk Pendek dan Tipis
• Berukuran pada umumnya kecil (tingginya 0.97-1.17 m)
• Kepalanya kecil
• Warna tubuh variasi dari warna coklat, abu-abu, dan abu-abu hitam
• Warna lubang hidung, lendir dari mulut dan kukunya pada umumnya berwarna hitam
• Berat badannya berkisar 200 kg











































Tugas : Manajemen Ternak Potong
Dosen :




BANGSA SAPI POTONG







JAIDIN
I11109276



FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2011

Budidaya Sapi Potong (Bos sp)

Budidaya Sapi Potong (Bos sp)
1. SEJARAH SINGKAT
Sapi yang ada sekarang ini berasal dari Homacodontidae yang dijumpai pada babak Palaeoceen. Jenis-jenis primitifnya ditemukan pada babak Plioceen di India. Sapi Bali yang banyak dijadikan komoditi daging/sapi potong pada awalnya dikembangkan di Bali dan kemudian menyebar ke beberapa wilayah seperti: Nusa Tenggara Barat (NTB), Sulawesi.
2. SENTRA PETERNAKAN
Sapi Bali, sapi Ongole, sapi PO (peranakan ongole) dan sapi Madura banyak terdapat di wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB), Sulawesi. Sapi jenis Aberdeen angus banyak terdapat di Skotlandia. Sapi Simental banyak terdapat di Swiss. Sapi Brahman berasal dari India dan banyak dikembangkan di Amerika.

3. JENIS
Jenis-jenis sapi potong yang terdapat di Indonesia saat ini adalah sapi asli Indonesia dan sapi yang diimpor. Dari jenis-jenis sapi potong itu, masing-masing mempunyai sifat-sifat yang khas, baik ditinjau dari bentuk luarnya (ukuran tubuh, warna bulu) maupun dari genetiknya (laju pertumbuhan).
Sapi-sapi Indonesia yang dijadikan sumber daging adalah sapi Bali, sapi Ongole, sapi PO (peranakan ongole) dan sapi Madura. Selain itu juga sapi Aceh yang banyak diekspor ke Malaysia (Pinang). Dari populasi sapi potong yang ada, yang penyebarannya dianggap merata masing-masing adalah: sapi Bali, sapi PO, Madura dan Brahman. Sapi Bali berat badan mencapai 300-400 kg. dan persentase karkasnya 56,9%. Sapi Aberdeen angus (Skotlandia) bulu berwarna hitam, tidak bertanduk, bentuk tubuh rata seperti papan dan dagingnya padat, berat badan umur 1,5 tahun dapat mencapai 650 kg, sehingga lebih cocok untuk dipelihara sebagai sapi potong. Sapi Simental (Swiss) bertanduk kecil, bulu berwarna coklat muda atau kekuning-kuningan. Pada bagian muka, lutut kebawah dan jenis gelambir, ujung ekor berwarna putih.
Sapi Brahman (dari India), banyak dikembangkan di Amerika. Persentase karkasnya 45%. Keistimewaan sapi ini tidak terlalu selektif terhadap pakan yang diberikan, jenis pakan (rumput dan pakan tambahan) apapun akan dimakannya, termasuk pakan yang jelek sekalipun. Sapi potong ini juga lebih kebal terhadap gigitan caplak dan nyamuk serta tahan panas.
4. MANFAAT
Memelihara sapi potong sangat menguntungkan, karena tidak hanya menghasilkan daging dan susu, tetapi juga menghasilkan pupuk kandang dan sebagai tenaga kerja. Sapi juga dapat digunakan meranih gerobak, kotoran sapi juga mempunyai nilai ekonomis, karena termasuk pupuk organik yang dibutuhkan oleh semua jenis tumbuhan. Kotoran sapi dapat menjadi sumber hara yang dapat memperbaiki struktur tanah sehingga menjadi lebih gembur dan subur.
Semua organ tubuh sapi dapat dimanfaatkan antara lain:
1. Kulit, sebagai bahan industri tas, sepatu, ikat pinggang, topi, jaket.
2. Tulang, dapat diolah menjadi bahan bahan perekat/lem, tepung tulang dan garang kerajinan
3. Tanduk, digunakan sebagai bahan kerajinan seperti: sisir, hiasan dinding dan masih banyak manfaat sapi bagi kepentingan manusia.
5. PERSYARATAN LOKASI
Lokasi yang ideal untuk membangun kandang adalah daerah yang letaknya cukup jauh dari pemukiman penduduk tetapi mudah dicapai oleh kendaraan. Kandang harus terpisah dari rumah tinggal dengan jarak minimal 10 meter dan sinar matahari harus dapat menembus pelataran kandang serta dekat dengan lahan pertanian. Pembuatannya dapat dilakukan secara berkelompok di tengah sawah atau ladang.
6. PEDOMAN TEKNIS BUDIDAYA
6.1. Penyiapan Sarana dan Peralatan
Kandang dapat dibuat dalam bentuk ganda atau tunggal, tergantung dari jumlah sapi yang dimiliki. Pada kandang tipe tunggal, penempatan sapi dilakukan pada satu baris atau satu jajaran, sementara kandang yang bertipe ganda penempatannya dilakukan pada dua jajaran yang saling berhadapan atau saling bertolak belakang. Diantara kedua jajaran tersebut biasanya dibuat jalur untuk jalan.
Pembuatan kandang untuk tujuan penggemukan (kereman) biasanya berbentuk tunggal apabila kapasitas ternak yang dipelihara hanya sedikit. Namun, apabila kegiatan penggemukan sapi ditujukan untuk komersial, ukuran kandang harus lebih luas dan lebih besar sehingga dapat menampung jumlah sapi yang lebih banyak. Lantai kandang harus diusahakan tetap bersih guna mencegah timbulnya berbagai penyakit. Lantai terbuat dari tanah padat atau semen, dan mudah dibersihkan dari kotoran sapi. Lantai tanah dialasi dengan jerami kering sebagai alas kandang yang hangat.
Seluruh bagian kandang dan peralatan yang pernah dipakai harus disuci hamakan terlebih dahulu dengan desinfektan, seperti creolin, lysol, dan bahan-bahan lainnya. Ukuran kandang yang dibuat untuk seekor sapi jantan dewasa adalah 1,5x2 m atau 2,5x2 m, sedangkan untuk sapi betina dewasa adalah 1,8x2 m dan untuk anak sapi cukup 1,5x1 m per ekor, dengan tinggi atas + 2-2,5 m dari tanah. Temperatur di sekitar kandang 25-40 derajat C ( rata-rata 33 derajat C) dan kelembaban 75%. Lokasi pemeliharaan dapat dilakukan pada dataran rendah (100-500 m) hingga dataran tinggi (> 500 m).
Kandang untuk pemeliharaan sapi harus bersih dan tidak lembab. Pembuatan kandang harus memperhatikan beberapa persyaratan pokok yang meliputi konstruksi, letak, ukuran dan perlengkapan kandang.
1. Konstruksi dan letak kandang
Konstruksi kandang sapi seperti rumah kayu. Atap kandang berbentuk kuncup dan salah satu/kedua sisinya miring. Lantai kandang dibuat padat, lebih tinggi dari pada tanah sekelilingnya dan agak miring kearah selokan di luar kandang. Maksudnya adalah agar air yang tampak, termasuk kencing sapi mudah mengalir ke luar lantai kandang tetap kering. Bahan konstruksi kandang adalah kayu gelondongan/papan yang berasal dari kayu yang kuat. Kandang sapi tidak boleh tertutup rapat, tetapi agak terbuka agar sirkulasi udara didalamnya lancar. Termasuk dalam rangkaian penyediaan pakan sapi adalah air minum yang bersih. Air minum diberikan secara ad libitum, artinya harus tersedia dan tidak boleh kehabisan setiap saat. Kandang harus terpisah dari rumah tinggal dengan jarak minimal 10 meter dan sinar matahari harus dapat menembus pelataran kandang. Pembuatan kandang sapi dapat dilakukan secara berkelompok di tengah sawah/ladang.
2. Ukuran kandang
Sebelum membuat kandang sebaiknya diperhitungkan lebih dulu jumlah sapi yang akan dipelihara. Ukuran kandang untuk seekor sapi jantan dewasa adalah 1,5 x 2 m. Sedangkan untuk seekor sapi betina dewasa adalah 1,8 x 2 m dan untuk seekor anak sapi cukup 1,5x1 m.
3. Perlengkapan kandang
KandangTermasuk dalam perlengkapan kandang adalah tempat pakan dan minum, yang sebaiknya dibuat di luar kandang, tetapi masih dibawah atap. Tempat pakan dibuat agak lebih tinggi agar pakan yang diberikan tidak diinjak-injak/ tercampur kotoran. Tempat air minum sebaiknya dibuat permanen berupa bak semen dan sedikit lebih tinggi dari pada permukaan lantai. Dengan demikian kotoran dan air kencing tidak tercampur didalamnya. Perlengkapan lain yang perlu disediakan adalah sapu, sikat, sekop, sabit, dan tempat untuk memandikan sapi. Semua peralatan tersebut adalah untuk membersihkan kandang agar sapi terhindar dari gangguan penyakit sekaligus bisa dipakai untuk memandikan sapi.
6.2. Pembibitan
Syarat ternak yang harus diperhatikan adalah:
1. Mempunyai tanda telinga, artinya pedet tersebut telah terdaftar dan lengkap silsilahnya.
2. Matanya tampak cerah dan bersih.
3. Tidak terdapat tanda-tanda sering butuh, terganggu pernafasannya serta dari hidung tidak keluar lendir.
4. Kukunya tidak terasa panas bila diraba.
5. Tidak terlihat adanya eksternal parasit pada kulit dan bulunya.
6. Tidak terdapat adanya tanda-tanda mencret pada bagian ekor dan dubur.
7. Tidak ada tanda-tanda kerusakan kulit dan kerontokan bulu.
8. Pusarnya bersih dan kering, bila masih lunak dan tidak berbulu menandakan bahwa pedet masih berumur kurang lebih dua hari.
Untuk menghasilkan daging, pilihlah tipe sapi yang cocok yaitu jenis sapi Bali, sapi Brahman, sapi PO, dan sapi yang cocok serta banyak dijumpai di daerah setempat. Ciri-ciri sapi potong tipe pedaging adalah sebagai berikut:
1. tubuh dalam, besar, berbentuk persegi empat/bola.
2. kualitas dagingnya maksimum dan mudah dipasarkan.
3. laju pertumbuhannya relatif cepat.
4. efisiensi bahannya tinggi.
6.3. Pemeliharaan
Pemeliharaan sapi potong mencakup penyediaan pakan (ransum) dan pengelolaan kandang. Fungsi kandang dalam pemeliharaan sapi adalah :
a. Melindungi sapi dari hujan dan panas matahari.
b. Mempermudah perawatan dan pemantauan.
c. Menjaga keamanan dan kesehatan sapi.
Pakan merupakan sumber energi utama untuk pertumbuhan dan pembangkit tenaga. Makin baik mutu dan jumlah pakan yang diberikan, makin besar tenaga yang ditimbulkan dan masih besar pula energi yang tersimpan dalam bentuk daging.
1. Sanitasi dan Tindakan Preventif
Pada pemeliharaan secara intensif sapi-sapi dikandangkan sehingga peternak mudah mengawasinya, sementara pemeliharaan secara ekstensif pengawasannya sulit dilakukan karena sapi-sapi yang dipelihara dibiarkan hidup bebas.
2. Pemberian Pakan
Pada umumnya, setiap sapi membutuhkan makanan berupa hijauan. Sapi dalam masa pertumbuhan, sedang menyusui, dan supaya tidak jenuh memerlukan pakan yang memadai dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Pemberian pakan dapat dilakukan dengan 3 cara: yaitu penggembalaan (Pasture fattening), kereman (dry lot faatening) dan kombinasi cara pertama dan kedua.
Penggembalaan dilakukan dengan melepas sapi-sapi di padang rumput, yang biasanya dilakukan di daerah yang mempunyai tempat penggembalaan cukup luas, dan memerlukan waktu sekitar 5-7 jam per hari. Dengan cara ini, maka tidak memerlukan ransum tambahan pakan penguat karena sapi telah memakan bermacam-macam jenis rumput.
Pakan dapat diberikan dengan cara dijatah/disuguhkan yang yang dikenal dengan istilah kereman. Sapi yang dikandangkan dan pakan diperoleh dari ladang, sawah/tempat lain. Setiap hari sapi memerlukan pakan kira-kira sebanyak 10% dari berat badannya dan juga pakan tambahan 1% - 2% dari berat badan. Ransum tambahan berupa dedak halus atau bekatul, bungkil kelapa, gaplek, ampas tahu. yang diberikan dengan cara dicampurkan dalam rumput ditempat pakan. Selain itu, dapat ditambah mineral sebagai penguat berupa garam dapur, kapus. Pakan sapi dalam bentuk campuran dengan jumlah dan perbandingan tertentu ini dikenal dengan istilah ransum.
Pemberian pakan sapi yang terbaik adalah kombinasi antara penggembalaan dan keraman. Menurut keadaannya, jenis hijauan dibagi menjadi 3 katagori, yaitu hijauan segar, hijauan kering, dan silase. Macam hijauan segar adalah rumput-rumputan, kacang-kacangan (legu minosa) dan tanaman hijau lainnya. Rumput yang baik untuk pakan sapi adalah rumput gajah, rumput raja (king grass), daun turi, daun lamtoro.
Hijauan kering berasal dari hijauan segar yang sengaja dikeringkan dengan tujuan agar tahan disimpan lebih lama. Termasuk dalam hijauan kering adalah jerami padi, jerami kacang tanah, jerami jagung, dsb. yang biasa digunakan pada musim kemarau. Hijauan ini tergolong jenis pakan yang banyak mengandung serat kasar.
Hijauan segar dapat diawetkan menjadi silase. Secara singkat pembuatan silase ini dapat dijelaskan sebagai berikut: hijauan yang akan dibuat silase ditutup rapat, sehingga terjadi proses fermentasi. Hasil dari proses inilah yang disebut silase. Contoh-contoh silase yang telah memasyarakat antara lain silase jagung, silase rumput, silase jerami padi, dll.
3. Pemeliharaan kandang
Kotoran ditimbun di tempat lain agar mengalami proses fermentasi (+1-2 minggu) dan berubah menjadi pupuk kandang yang sudah matang dan baik. Kandang sapi tidak boleh tertutup rapat (agak terbuka) agar sirkulasi udara didalamnya berjalan lancar. Air minum yang bersih harus tersedia setiap saat. Tempat pakan dan minum sebaiknya dibuat di luar kandang tetapi masih di bawah atap. Tempat pakan dibuat agak lebih tinggi agar pakan yang diberikan tidak diinjak-injak atau tercampur dengan kotoran. Sementara tempat air minum sebaiknya dibuat permanen berupa bak semen dan sedikit lebih tinggi daripada permukaan lantai. Sediakan pula peralatan untuk memandikan sapi.
7. HAMA DAN PENYAKIT
7.1. Penyakit
1. Penyakit antraks
o Penyebab: Bacillus anthracis yang menular melalui kontak langsung, makanan/minuman atau pernafasan.
o Gejala:
1. demam tinggi, badan lemah dan gemetar;
2. gangguan pernafasan;
3. pembengkakan pada kelenjar dada, leher, alat kelamin dan badan penuh bisul;
4. kadang-kadang darah berwarna merah hitam yang keluar melalui hidung, telinga, mulut, anus dan vagina;
5. kotoran ternak cair dan sering bercampur darah;
6. limpa bengkak dan berwarna kehitaman.
o Pengendalian: vaksinasi, pengobatan antibiotika, mengisolasi sapi yang terinfeksi serta mengubur/membakar sapi yang mati.
2. Penyakit mulut dan kuku (PMK) atau penyakit Apthae epizootica (AE)
o Penyebab: virus ini menular melalui kontak langsung melalui air kencing, air susu, air liur dan benda lain yang tercemar kuman AE.
o Gejala:
1. rongga mulut, lidah, dan telapak kaki atau tracak melepuh serta terdapat tonjolan bulat berisi cairan yang bening;
2. demam atau panas, suhu badan menurun drastis;
3. nafsu makan menurun bahkan tidak mau makan sama sekali;
4. air liur keluar berlebihan.
o Pengendalian: vaksinasi dan sapi yang sakit diasingkan dan diobati secara terpisah.
3. Penyakit ngorok/mendekur atau penyakit Septichaema epizootica (SE)
o Penyebab: bakteri Pasturella multocida. Penularannya melalui makanan dan minuman yang tercemar bakteri.
o Gejala:
1. kulit kepala dan selaput lendir lidah membengkak, berwarna merah dan kebiruan;
2. leher, anus, dan vulva membengkak;
3. paru-paru meradang, selaput lendir usus dan perut masam dan berwarna merah tua;
4. demam dan sulit bernafas sehingga mirip orang yang ngorok. Dalam keadaan sangat parah, sapi akan mati dalam waktu antara 12-36 jam.
o Pengendalian: vaksinasi anti SE dan diberi antibiotika atau sulfa.
4. Penyakit radang kuku atau kuku busuk (foot rot)
o Penyakit ini menyerang sapi yang dipelihara dalam kandang yang basah dan kotor.
o Gejala:
1. mula-mula sekitar celah kuku bengkak dan mengeluarkan cairan putih keruh;
2. kulit kuku mengelupas;
3. tumbuh benjolan yang menimbulkan rasa sakit;
4. sapi pincang dan akhirnya bisa lumpuh.
7.2. Pengendalian
Pengendalian penyakit sapi yang paling baik menjaga kesehatan sapi dengan tindakan pencegahan. Tindakan pencegahan untuk menjaga kesehatan sapi adalah:
1. Menjaga kebersihan kandang beserta peralatannya, termasuk memandikan sapi.
2. Sapi yang sakit dipisahkan dengan sapi sehat dan segera dilakukan pengobatan.
3. Mengusakan lantai kandang selalu kering.
4. Memeriksa kesehatan sapi secara teratur dan dilakukan vaksinasi sesuai petunjuk.
8. PANEN
8.1. Hasil Utama
Hasil utama dari budidaya sapi potong adalah dagingnya
8.2. Hasil Tambahan
Selain daging yang menjadi hasil budidaya, kulit dan kotorannya juga sebagai hasil tambahan dari budidaya sapi potong.
9. PASCAPANEN
9.1. Stoving
Ada beberapa prinsip teknis yang harus diperhatikan dalam pemotongan sapi agar diperoleh hasil pemotongan yang baik, yaitu:
1. Ternak sapi harus diistirahatkan sebelum pemotongan
2. Ternak sapi harus bersih, bebas dari tanah dan kotoran lain yang dapat mencemari daging.
3. Pemotongan ternak harus dilakukan secepat mungkin, dan rasa sakit yang diderita ternak diusahakan sekecil mungkin dan darah harus keluar secara tuntas.
4. Semua proses yang digunakan harus dirancang untuk mengurangi jumlah dan jenis mikroorganisme pencemar seminimal mungkin.
9.2. Pengulitan
Pengulitan pada sapi yang telah disembelih dapat dilakukan dengan menggunakan pisau tumpul atau kikir agar kulit tidak rusak. Kulit sapi dibersihkan dari daging, lemak, noda darah atau kotoran yang menempel. Jika sudah bersih, dengan alat perentang yang dibuat dari kayu, kulit sapi dijemur dalam keadaan terbentang. Posisi yang paling baik untuk penjemuran dengan sinar matahari adalah dalam posisi sudut 45 derajat.
9.3. Pengeluaran Jeroan
Setelah sapi dikuliti, isi perut (visceral) atau yang sering disebut dengan jeroan dikeluarkan dengan cara menyayat karkas (daging) pada bagian perut sapi.
9.4. Pemotongan Karkas
Akhir dari suatu peternakan sapi potong adalah menghasilkan karkas berkualitas dan berkuantitas tinggi sehingga recahan daging yang dapat dikonsumsipun tinggi. Seekor ternak sapi dianggap baik apabila dapat menghasilkan karkas sebesar 59% dari bobot tubuh sapi tersebut dan akhirnya akan diperoleh 46,50% recahan daging yang dapat dikonsumsi. Sehingga dapat dikatakan bahwa dari seekor sapi yang dipotong tidak akan seluruhnya menjadi karkas dan dari seluruh karkas tidak akan seluruhnya menghasilkan daging yang dapat dikonsumsi manusia. Oleh karena itu, untuk menduga hasil karkas dan daging yang akan diperoleh, dilakukan penilaian dahulu sebelum ternak sapi potong. Di negara maju terdapat spesifikasi untuk pengkelasan (grading) terhadap steer, heifer dan cow yang akan dipotong.
Karkas dibelah menjadi dua bagian yaitu karkas tubuh bagian kiri dan karkas tubuh bagian kanan. Karkas dipotong-potong menjadi sub-bagian leher, paha depan, paha belakang, rusuk dan punggung. Potongan tersebut dipisahkan menjadi komponen daging, lemak, tulang dan tendon. Pemotongan karkas harus mendapat penanganan yang baik supaya tidak cepat menjadi rusak, terutama kualitas dan hygienitasnya. Sebab kondisi karkas dipengaruhi oleh peran mikroorganisme selama proses pemotongan dan pengeluaran jeroan.
Daging dari karkas mempunyai beberapa golongan kualitas kelas sesuai dengan lokasinya pada rangka tubuh. Daging kualitas pertama adalah daging di daerah paha (round) kurang lebih 20%, nomor dua adalah daging daerah pinggang (loin), lebih kurang 17%, nomor tiga adalah daging daerah punggung dan tulang rusuk (rib) kurang lebih 9%, nomor empat adalah daging daerah bahu (chuck) lebih kurang 26%, nomor lima adalah daging daerah dada (brisk) lebih kurang 5%, nomor enam daging daerah perut (frank) lebih kurang 4%, nomor tujuh adalah daging daerah rusuk bagian bawah sampai perut bagian bawah (plate & suet) lebih kurang 11%, dan nomor delapan adalah daging bagian kaki depan (foreshank) lebih kurang 2,1%. Persentase bagian-bagian dari karkas tersebut di atas dihitung dari berat karkas (100%). Persentase recahan karkas dihitung sebagai berikut:
Persentase recahan karkas = Jumlah berat recahan / berat karkas x 100 %
Istilah untuk sisa karkas yang dapat dimakan disebut edible offal, sedangkan yang tidak dapat dimakan disebut inedible offal (misalnya: tanduk, bulu, saluran kemih, dan bagian lain yang tidak dapat dimakan).
10. ANALISIS EKONOMI BUDIDAYA
10.1. Analisis Usaha Budidaya
Perkiraan analisis budidaya sapi potong kereman setahun di Bangli skala 25 ekor pada tahun 1999 adalah sebagai berikut:
1. Biaya Produksi
a. Pembelian 25 ekor bakalan : 25 x 250 kg x Rp. 7.800,- -----------------------> Rp. 48.750.000,-
b. Kandang ---------------------------------------------------------------------> Rp. 1.000.000,-
c. Pakan
Hijauan: 25 x 35 kg x Rp.37,50 x 365 hari --------------> Rp. 12.000.000,-
Konsentrat: 25 x 2kg x Rp. 410,- x 365 hari ------------> Rp. 7.482.500,-
d. Retribusi kesehatan ternak: 25 x Rp. 3.000,- ---------------> Rp. 75.000,-
Jumlah biaya produksi -----------------------------------------------------------> Rp. 69.307.500,-
2. Pendapatan :
a. Penjualan sapi kereman Tambahan berat badan: 25 x 365 x 0,8 kg = 7.300 kg, Berat sapi setelah setahu: (25 x 250 kg) + 7.300 kg = 13.550 kg
Harga jual sapi hidup: Rp. 8.200,-/kg x 13.550 kg --------------------------> Rp. 111.110.000,-
b. Penjualan kotoran basah: 25 x 365 x 10 kg x Rp. 12,- ------------------------> Rp. 1.095.000,-
Jumlah Pendapatan -------------------------------------------------------------> Rp. 112.205.000,-
3. Keuntungan
Tanpa memperhitungkan biaya tenaga internal keuntungan Penggemukan 25 ekor sapi selama setahun. ---------> Rp. 42.897.500,-
4. Parameter kelayakan usaha : a. B/C ratio = 1,61
10.2. Gambaran Peluang Agribisnis
Sapi potong mempunyai potensi ekonomi yang tinggi baik sebagai ternak potong maupun ternak bibit. Selama ini sapi potong dapat mempunyai kebutuhan daging untuk lokal seperti rumah tangga, hotel, restoran, industri pengolahan, perdagangan antar pulau. Pasaran utamanya adalah kota-kota besar seperti kota metropolitan Jakarta. Konsumen untuk daging di Indonesia dapat digolongkan ke dalam beberapa segmen yaitu :
a. Konsumen Akhir
Konsumen akhir, atau disebut konsumen rumah tangga adalah pembeli-pembeli yang membeli untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan individunya. Golongan ini mencakup porsi yang paling besar dalam konsumsi daging, diperkirakan mencapai 98% dari konsumsi total. Mereka ini dapat dikelompokkan lagi ke dalam ova sub segmen yaitu :
1. Konsumen dalam negeri ( Golongan menengah keatas )
Segmen ini merupakan segmen terbesar yang kebutuhan dagingnya kebanyakan dipenuhi dari pasokan dalam negeri yang masih belum memperhatikan kualitas tertentu sebagai persyaratan kesehatan maupun selera.
2. Konsumen asing
Konsumen asing yang mencakup keluarga-keluarga diplomat, karyawan perusahaan dan sebagian pelancong ini porsinya relatif kecil dan tidak signifikan. Di samping itu juga kemungkinan terdapat konsumen manca negara yang selama ini belum terjangkau oleh pemasok dalam negeri, artinya ekspor belum dilakukan/jika dilakukan porsinya tidak signifikan.
b. Konsumen Industri
Konsumen industri merupakan pembeli-pembeli yang menggunakan daging untuk diolah kembali menjadi produk lain dan dijual lagi guna mendapatkan laba. Konsumen ini terutama meliputi: hotel dan restauran dan yang jumlahnya semakin meningkat Adapun mengenai tata niaga daging di negara kita diatur dalam inpres nomor 4 tahun 1985 mengenai kebijakansanakan kelancaran arus barang untuk menunjang kegiatan ekonomi. Di Indonesia terdapat 3 organisasi yang bertindak seperti pemasok daging yaitu :
1. KOPPHI (Koperasi Pemotongan Hewan Indonesia), yang mewakili pemasok produksi peternakan rakyat.
2. APFINDO (Asosiasi Peternak Feedlot (penggemukan) Indonesia), yang mewakili peternak penggemukan
3. ASPIDI (Asosiasi Pengusaha Importir Daging Indonesia).
11. DAFTAR PUSTAKA
1. Abbas Siregar Djarijah. 1996, Usaha Ternak Sapi, Kanisius, Yogyakarta.
2. Yusni Bandini. 1997, Sapi Bali, Penebar Swadaya, Jakarta.
3. Teuku Nusyirwan Jacoeb dan Sayid Munandar. 1991, Petunjuk Teknis Pemeliharaan Sapi Potong, Direktorat Bina Produksi Peternaka
4. Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian, Jakarta Undang Santosa. 1995, Tata Laksana Pemeliharaan Ternak Sapi, Penebar Swadaya,
Jakarta.
5. Lokakarya Nasional Manajemen Industri Peternakan. 24 Januari 1994,Program Magister Manajemen UGM, Yogyakarta.
6. Kohl, RL. and J.N. Uhl. 1986, Marketing of Agricultural Products, 5 th ed, Macmillan Publishing Co, New York.
12. KONTAK HUBUNGAN
1. Proyek Pengembangan Ekonomi Masyarakat Pedesaan – BAPPENAS Jl.Sunda Kelapa No. 7 Jakarta, Tel. 021 390 9829 , Fax. 021 390 9829
2. Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi, Deputi Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Iptek, Gedung II BPPT Lantai 6, Jl. M.H.Thamrin No. 8, Jakarta 10340, Indonesia, Tel. +62 21 316 9166~69, Fax. +62 21 310 1952, Situs Web: http://www.ristek.go.id
Sumber : Proyek Pengembangan Ekonomi Masyarakat Pedesaan, Bappenas
________________________________________
PENGEMUKAN SAPI POTONG SISTEM KEREMAN
1. KELUARAN
Teknologi dan metoda pengemukan sapi
2. BAHAN
Sapi bakalan, hijauan segar, makanan penguat, konsentrat, vitamin, air minum dan obat-obatan
3. ALAT
Timbangan, takaran, ember, sabit, cangkul, karung plastik, dll.
4. PEDOMAN TEKNIS
Penggemukan pada dasarnya adalah memanfaatkan potensi genetik untuk tumbuh dan menyimpan lemak tubuh dalam jangka waktu maksimal 6 bulan. Sistem kereman adalah pemeliharaan di kandang dengan diberi pakan dasar hijauan (rumput dan leguminosa), dan pakan tambahan (konsentrat). Jumlah pakan tambahan minimal 1 1/2 % berat badan dengan kandungan protein 14 -16 %.
1. Sapi bakalan
Umur sapi yang akan digemukkan adalah sapi jantan muda atau dewasa, kurus dan sehat. Bobot badan sapi minimal 200 kg, dengan umur kurang antara 1-1,5 tahun
2. Pakan Tambahan (konsentrat)
Untuk mendapatkan pertambahan sapi dengan cepat maka perlu diimbangi dengan penambahan makanan penguat, yang mudah didapat, antara lain dengan batas penggunaan dalam ransum (9/100 gram) dedak padi/katul 60, batang sagu (hati sagu) 6, bungkil kelapa 30, tepung ikan 3, garam dapur 0,5 dan mixed mineral 0,5.
3. Perkandangan
Kandang ternak harus berjarak 10 - 20 m dari rumah atau sumber air. Ukuran kandang per ekor adalah : lebar 125 cm dan panjang 2 m, lantai kandang usahakan dengan alas semen dan tidak becek/kotor. Tempat makan, minum dan garam harus mudah terjangkau oleh ternak. Kotoran ternak harus dibersihkan setiap hari dan buatkan penampungan kotoran untuk kompos yang terpisah dari kandang.
5. SUMBER

6. KONTAK HUBUNGAN
Departemen Pertanian RI, Kantor Pusat Departemen Pertanian - Jalan Harsono RM No. 3, Ragunan - Pasar Minggu, Jakarta 12550 - Indonesia

Syarat Kesehatan Hewan Sapi Bibit Ditinjau dari Penyakit Bakteri

Syarat Kesehatan Hewan Sapi Bibit Ditinjau dari Penyakit Bakteri
Syarat kesehatan hewan adalah persyaratan yang harus dipenuhi bagi setiap bibit ternak yang di masukkan ke dalam wilayah Indonesia untuk pencegahan dan penolakan kemungkinan masuknya penyakit hewan menular dari luar negeri. Peraturan pemasukan bibit ternak dari luar negeri ke Indonesia di atur dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian No: 750/Kpts/Um/10/1982. Salah satu keputusan untuk pemasukan bibit ternak dari luar negeri ke Indonesia adalah memenuhi syarat kesehatan hewan.
Untuk pemasukan bibit sapi perah diatur dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian No: 753/Kpts/Um/10/1982. Dalam SK mentan tersebut diterangkan bahwa pemasukan bibit sapi perah ke Indonesia harus memenuhi persyaratan bebas dari penyakit, salah satunya adalah bebas dari penyakit bakterial. Bibit sapi perah yang masuk ke wilayah Indonesia harus bebas terhadap beberapa jenis penyakit bakteri seperti Antraks, Bovine Genital Campylobacteriosis, John’s Disease, Leptospirosis, Salmonellosis, Clostridial Disease, Brucellosis, Tuberculosis dan Pink Eye.

1. Antraks

Penyakit antraks atau radang limpa merupakan penyakit yang disertai bakteriemia pada kebanyakan spesies hewan. Antraks telah tersebar diseluruh dunia terutama di negara tropis namun umumnya terbatas pada beberapa wilayah saja. Antraks disebabkan oleh Bacillus anthracis, dan bakteri ini dapat membentuk spora bila terdedah udara dan tahan hidup hidup di tanah, di lingkungan yang panas dan bahan kimia atau desinfektan. Apabila terjadi perubahan ekologik seperti datangnya musim hujan, spora yang semula bersifat laten akan berkembang dan meningkat populasinya.
Sumber utama penularan antraks pada hewan adalah tanah yang tercemar dan air yang masuk tubuh melalui luka, terhirup bersama udara atau tertelan. Gejala yang menciri akibat serangan antraks adalah gejala septisemia yang ditandai adanya kematian mendadak dan perdarahan bersifat sianotik dari lubang-lubang alami. Di daerah endemik, terjadinya kematian mendadak pada sapi harus diwaspadai ada kemungkinan terserang antraks.
Diagnosis antraks berdasarkan epidemiologi/ atau adanya riwayat penyakit radang antraks dan gejala klinis. Pengiriman spesimen ke laboratorium berupa darah di dalam tabung, tusukan jarum dari telinga atau ekor atau preparat ulas darah. Pencegahan dan pengendalian antraks dapat dilakukan dengan melakukan vaksinasi pada ternak. Diagnosis banding dari antraks adalah keracunan tumbuhan, black leg, enterotoksemia. Hewan yang terserang atau diduga terserang antraks dilarang keras dipotong. Karakar dan alat yang tercemar harus dibakar dan kemudian dikubur dengan dilapisi gamping.

2. Bovine Genital Campylobacteriosis

Bovine genital campylobacteriosis atau vibriosis adalah suatu penyakit kelamin pada sapi yang disebabkan oleh Campylobacter foetus. Infeksi yang terjadi terbatas pada alat reproduksi sapi betina atau kantung prepusium hewan jantan. Bakteri ini mudah mati oleh sinar matahari dan desinfektan. Campylobacteriosis di Indonesia telah ditemukan di beberapa tempat namun penyebarannya belum diketahui secara rinci.
Penularan penyakit terjadi melalui perkawinan atau inseminasi buatan (IB) dengan semen pejantan yang terinfeksi. Sapi betina yang terserang campylobacteriosis pertama kalinya dapat mengalami keguguran pada kebuntingan bulan ke-5 atau ke-6. Setelah infeksi berkembang, gejala yang muncul adalah turunnya fertilitas dan angka kelahiran akibat kematian janin.
Diagnosis penyakit ini dapat dilakukan dengan pengiriman contoh uji dari leleran vagina, prepusium pejantan dan serum ke laboratorium. Diagnosa banding campylobacteriosis adalah trikomoniasis, brucellosis dan IBR. Pengendalian infeksi pada ternak dapat dilakukan dengan manajemen yang baik dan vaksinasi. Semen yang akan digunakan untuk IB harus bersih dari infeksi dan bebas penyakit campylobacteriosis.

3. Johne’s Disease

Johne’s disease atau paratuberkulosis dalah penyakit bakterial menahun yang disebabkan oleh Mycobacterium paratuberculosis. Penyakit ini menyebabkan radang usus dengan gejala diare hebat terus menerus dan berakhir dengan kematian. Kejadian paratuberkulosis tersebar secara luas di dunia. Di Indonesia kejadian penyakit belum ada data yang pasti penyebarannya namun dilaporkan Secara histopatologis pernah didiagnosis pada sapi perah impor di Semarang.
Penularan penyakit terjadi karena pencemaran lingkungan oleh bakteri melalui makanan dan minuman. Penularan sering terjadi dari penderita paratuberkulosis sub-klinis. Gejala klinis penyakit ini bervariasi, dimulai dari turunnya kondisi tubuh dan kebengkakan intramadibular. Nafsu makan dan suhu tubuh biasanya tetap normal.
Diagnosis berdasarkan atas gejala klinis dan dikukuhkan dengan pengujian laboratoris dari sepesimen usus halus untuk pemeriksaan patologi, isolasi dan identifikasi bakteri. Uji intradermal dengan Johnin test juga dapat dilakukan di lapangan. Pengendalian penyakit dengan pengobatan tidak efektif sehingga dianjurkan agar hewan sakit dipotong untuk menghindari kerugian. Sapi penderita paratuberkulosis yang dipotong masih dapat dikonsumsi dagingnya dan jaringan yang terserang dimusnahkan dengan dibakar.

4. Leptospirosis

Leptospirosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi bakteri Leptospira spp. Penyakit ini mempunyai arti penting ditinjau dari segi ekonomi peternakan dan kesehatan masyarakat. Bakteri Leptospira peka terhadap asam, tahan hidup di dalam air tawar selama satu bulan tetapi mudah mati dalam air laut, air selokan dan air kencing yang pekat. Kejadian leptospirosis di Indonesia telah dilaporkan sejak jaman Hindia Belanda dan secara epidemiologi telah dilaporkan diberbagai tempat di Jawa dan Bali.
Leptospirosis merupakan penyakit zoonosis dan menyerang hampir setiap hewan menyusui. Beberapa macam serovar telah ditetapkan yaitu serovar harjo, bataviae, javanica, semarangga, djasman, sentot dan paidjan. Infeksi pada sapi yang paling sering terjadi disebabkan oleh serovar harjo, sedangkan serovar pomona merupakan serovar yang paling banyak menyebabkan infeksi akut. Penularan penyakit melalui kulit yang luka atau lewat selaput lendir mata, hidung dan saluran pencernaan.
Diagnosis leptospirosis dapat dilakukan dengan uji MAT (Microscopic Agglutination Test) dari plasma darah, air kencing dan berbagai organ. Isolasi bakteri dapat dilakukan dari spesimen hati dan ginjal hewan yang baru saja mati atau dari organ janin yang abortus (ginjal, paru dan cairan rongga dada). Diagnosis banding penyakit ini adalah anaplasmosis, babesiosis dan infeksi Clostridium hemoliticum (hemoglobinuria basiler).
Pengobatan penyakit dengan beberapa jenis antibiotika harus segera dilakukan pada sapi yang terinfeksi untuk menghindari kerusakan jaringan dan perkembangan bakteri dalam tubuh ternak. Vaksinasi dapat dilakukan bersamaan dengan pemberian antibiotika. Untuk kelompok ternak terbatas vaksinasi diberikan setiap tahun, sedangkan pada ternak yang menyebar dilakukan setiap 6 bulan.

5. Salmonellosis

Salmonellosis pada sapi disebabkan oleh infeksi bakteri Salmonella dublin, S. typhimurium atau S. newport. Penyakit ini menyebabkan peradangan usus atau enteritis dan invasi organisme ke dalam aliran darah menyebabkan septisemia. Salmonella tidak tahan hidup di alam, terutama dalam suasana kering. Salmonellosis pada sapi di Indonesia ditemukan di mana-mana. Pada tahun 1984 dilaporkan infeksi S. dublin pada sapi dan kerbau di Sumatera Utara dan kemudian pada tahun 1988 salmonellosis telah menyebabkan banyak kematian pada sekelompok anak sapi di Semarang.
Penularan salmonellosis terjadi melalui pakan atau minuman yang tercemar dengan tinja dari ternak yang terinfeksi. Ternak yang terinfeksi dapat tetap mengeluarkan kuman 3-4 bulan setelah sembuh. Selain itu penularan juga dapat terjadi secara intra uterin. Gejala klinis salmonellosis akut berupa demam, lesu, kurang nafsu makan. Pada sapi perah dapat menurunkan produksi susu. Ternak juga mengalami diare berdarah dan berlendir. Kematian dapat terjadi dalam waktu 3-4 hari setelah infeksi. Anak sapi umur 2-6 minggu yang terinfeksi secara akut dapat mengalami septisemia tanpa timbul diare. Selain itu hewan dalam keadaan bunting dapat mengalami keguguran jika terinfeksi.
Diagnosis di dasarkan atas gejala klinis, identifikasi kuman dan perubahan pasca mati berupa penebalan selaput lendir usus yang berdarah dan jejas nekrotik. Pada anak sapi yang terserang selaput lendirnya dapat terjadi pneumonia. Isolasi kuman dapt dilakukan dari spesimen tinja, air kencing dan potongan usus. Diagnosis banding salmonellosis adalah pasteurellosis, keracunan pakan, kolibasilosis, koksidiosis, IBR, infeksi Clostridium perfringens tipe B dan C serta paratuberkulosis.

6. Brucellosis

Brucellosis pada sapi atau keluron menular adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Brucella abortus. Penyakit ini dapat mengakibat keguguran, angka kematian sangat kecil tau tidak terjadi namun kerugian ekonomi yang ditimbulkan sangat besar berupa keguguran, anak lahir lemah (weakness), lahir mati (stillbirth), fertilitas dan infertilitas. Kejadian brucellosis di Indonesia telah menyebar hampir di seluruh propinsi kecuali Bali dan Lombok.
Penularan brucellosis terjadi melalui saluran makanan, saluran kelamin, selaput lendir atau kulit yang luka dan IB. Gejala klinis brucellosis pada sapi dipengaruhi oleh umur sapi yang terinfeksi, jumlah kuman dan tingkat virulensinya. Anak sapi yang lahir dari induk yang terinfeksi akan terus menyimpan bibit penyakit sampai mencapai usia dewasa. Gejala yang paling menciri adalah keguguran pada bulan ke 5-8 kebuntingan. Pada sapi jantan brucellosis dapat menyebabkan peradangan testis (orchitis).
Diagnosis penyakit dapat dilakukan secara serologis dan dengan isolasi bakteri. Uji serologis dapat dilakukan dengan RBT (Rose Bengal Test), CFT (Complement Fixation Test) atau ELISA. Pengujian pada sekelopmpok sapi perah dapat dilakukan dengan uji MRT (Milk Ring Test). Isolasi bakteri dapat dilakukan dari spesimen yang diambil dari organ janin yang keguguran (paru dan lambung) dan dari plasenta induk, leleran vagina dan susu. Pada sapi jantan dapat diisolasi dari semen.
Pengobatan brucellosis dengan antibiotika tidak efektif, pengendalian dapat dilakukan dengan vaksinasi dan test and slaughther/ potong bersyarat pada reaktor. Daerah dengan prevalensi brucellosis < 2% pengendalian dilakukan dengan test and slaughther, sedangkan daerah dengan prevalensi > 2% pengendalian dilakukan dengan vaksinasi.

7. Tuberkulosis

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit kronis yang menyerang semua jenis hewan dan manusia. Tuberkulosis pada sapi secara ekonomis sangat merugikan dan sekaligus merupakan ancaman bagi kesehatan manusia. Penyakit TB disebabkan oleh bakteri tahan asam Mycobacterium tuberculosis. Ada tiga tipe bakteri TB yaitu, tipe human (orang), tipe bovine (sapi), dan avian (unggas), namun demikian ketiga tipe tersebut dapat menginfeksi hewan. Kuman TB dapat tahan hidup berbulan-bulan di padang rumput yang rindang atau di kandang yang teduh. Kuman dapat mati secara cepat jika tekena sinar matahari. Kejadian TB di Indonesia banyak ditemukan pada sapi perah daripada sapi potong. Sampai tahun 1994, kasus TB pada sapi hanya ditemukan di Jawa Barat.
Penyakit TB sering dijumpai pada sapi perah yang sudah tua terutama yang dikandangkan dengan higiene lingkungan yang jelek. Prevalensi TB pada sapi di kandang terbuka biasanya lebih rendah. Infeksi terjadi melalui pernafasan atau percikan batuk dari hewan terinfeksi yang mencemari pakan atau minum. Pedet dapat tertular melalui susu dari induk yang terinfeksi. Lesi yang menciri dari TB adalah pembentukan tuberkel atau bungkul berwarna putih kekuningan pada paru atau usus hewan yang terinfeksi. Bungkul tersebut berisi cairan bernanah, hewan dapat mati karena organ tidak berfungsi akibat perkembangan jejas pada organ yang meningkat.
Diagnosis TB pada hewan hidup dapat dilakukan dengan reaksi hipersensitivitas dengan uji tuberkulin. Pada hewan terinfeksi akan terjadi pembengkakan pada sisi suntikan dan dapat diukur luasnya dengan kaliper. Hewan yang mati akibat TB dapat dikirimkan jaringan yang mengandung sarang-sarang tuberkel untuk isolasi bakteri dan pemeriksaan histopatologi.
Pengobatan tidak dianjurkan pada hewan yang terserang TB karena tidak ekonomis. Pengujian TB dapat dilakukan secara teratur setiap 6-12 bulan dengan uji tuberkulin diikuti dengan pemotongan reaktor.

8. Pink Eye

Pink eye atau radang mata menular adalah penyakit menular akut pada sapi yang disebabkan oleh bakteri, virus, riketsia atau klamidia. Penyebab bakteri adalah Moraxella bovis yang bersifat hemolitik. Penyakit ini ditandai dengan adanya kemerahan pada selaput lendir mata yang selanjutnya dapat menyebabkan kekeruhan kornea atau kebutaan. Penurunan berat badan terjadi karena gangguan mencari pakan akibat kebutaan. Infeksi bisa terjadi secara unilateral maupun bilateral. Kejadian penyakit radang mata menular di temukan di Indonesia di mana-mana pada berbagai jenis sapi terutama sapi Bali.
Penularan penyakit ini dapat melalui debu, lalat dan percikan air yang tercemar oleh bakteri. Pada musim panas, penyakit ini sering ditemukan karena adanya debu dan lalat. Masa tunas dari pink eye berlangsung 2-3 hari ditandai dengan kongesti pada selaput lendir mata dan kornea. Hewan yang terinfeksi mengeluarkan banyak air mata, blefarospasmus, dan fotopobia. Kekeruhan kornea dapat terjadi 2 hari setelah infeksi, ulkus pada kornea timbul hari ke-4 dan kemudian pada hari ke-6 seluruh kornea menjadi keruh yang berakhir dengan kebutaan.
Diagnosis penyakit ini berdasarkan gejala perubahan pada kornea. Peneguhan diagnosis dapat dilakukan dengan isolasi dan identifikasi bakteri secara laboratoris dari spesimen swab air mata. Pengendalian penyakit radang mata menular ini dapat dilakukan dengan pengobatan antibiotika berspektrum luas.

9. Clostridial Disease

Clostridial disease pada sapi dapat disebabkan oleh infeksi berbagai spesies dari bakteri Clostridium, yaitu Clostridium botulinum sebagai penyebab penyakit botulisme, CL. Chauvoei penyebab penyakit radang paha dan Cl. tetani penyebab penyakit tetanus.


Botulisme atau Lamziekti adalah penyakit yang disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh bakteri Clostridium botulinum yang memperbanyak diri dalam jaringan yang membusuk. Bakteri ini membentuk spora dan tahan hidup bertahun-tahun dalam tanah dan bersifat anaerobik. Hewan yang terinfeksi mengalami kelumpuhan total otot gerak. Cl. Botulinum terdapat dimana-mana di Indonesia dan terjadinya infeksi tergantung oleh faktor predisposisi seperti tidak sengaja termakan atau terminum.
Penularan penyakit terjadi melalui toksin dalam pakan atau air yang tercemar oleh bakteri. Kejadian botulisme sering terjadi pada sapi yang kekurangan fosfor karena hewan yang kekrangan fosfor cenderung mengunyah tulang yang dijumpai di pengembalaan. Apabila tulang tersebut berasal dari hewan pembawa kuman maka akan terjadi intoksikasi. Gejala klinis yang mencolok dari penyakit botulisme adalah terjadinya kelumpuhan total secara perlahan. Toksin menyerang sistem syaraf dan menyebabkan hewan sempoyongan, kesulitan menelan, ngiler dan mata terbelalak. Kelumpuhan terjadi pada lidah, bibir, tenggorokan, kaki dan disusul kelemahan umum.
Diagnosis penyakit dapat dilakukan dengan uji laboratoris dari spesimen pakan, isi usus atau bangkai dan diteguhkan dengan pengukuran konsentrasi toksin. Pengendalian penyakit ini dengan pengobatan tidak efektif, pencegahan dilakukan dengan pemusnahan karkas dan vaksinasi dengan toksoid tipe C dan D. Hewan yang mati karena botulisme dilarang dipotong untuk dikonsumsi dagingnya. Bangkai dimusnahkan, kandang serta peralatan disucihamakan dengan desinfektan.


Radang paha atau Black Leg adalah penyakit menular akut yang disebabkan oleh infeksi bakteri Cl. Chauvoei pada sapi yang berakibat kepincangan dan radang yang hebat pada bagian paha. Kejadian penyakit radang paha di Indonesia pertama kali dilaporkan di Subang pada tahun 1907. Daerah endemik radang paha di Yogjakarta, Surakarta dan Madiun.
Penularan penyakit terjadi melalui spora yang termakan oleh hewan dan biasanya menyerang sapi muda umur 8-18 bulan. Gejala klinis yang mencolok adalah pada pangkal kaki belakang yang terserang dengan gejala awal pincang diikuti terbentuknya peradangan di bagian atas kaki yang meluas secara cepat. Jaringan yang terserang jika diraba berkrepitasi yang disebabkan penumpukan gas di bawah kulit. Timbul demam yang tinggi dan pernafasan meningkat, hewan terdengar mendengkur dengan gigi gemertak. Kematian terjadi mendadak antara 1-2 hari setelah timbul gejala serta dapat terjadi pendarahan pada hidung dan dubur.
Diagnosis dapat dilakukan dengan pengujian FAT. Pemeriksaan sediaan ulas darah secara cepat dapat membedakan dengan penyakit antraks. Pengendalian dan pencegahan dapat dilakukan dengan vaksinasi masal di daerah tertular setiap tahun untuk umur 6 bulan sampai 3 tahun. Pengobatan hewan sakit dapat dilakukan dengan suntikan penisilin dosis besar. Hewan yang mati karena radang paha dilarang dipotong untuk dikonsumsi dagingnya. Bangkai dimusnahkan, kandang serta peralatan disucihamakan dengan desinfektan.


Tetanus adalah penyakit akut yang mengakibatkan kekakuan dan kekejangan otot tubuh yang disebabkan infeksi bakteri Cl. Tetani. Bakteri ini terdapat di dalam tanah dan alat pencernaan hewan. Tetanus ditemukan dimana-mana di Indonesia terutama kuda, babi, domba, kambing dan kera, sedangkan pada sapi jarang terjadi. Kejadian penyakit ini biasanya bersifat insidental mengikuti infeksi pada luka yang dalam atau pada lokasi yang banyak menggunakan pupuk kandang.
Penularan terjadi karena adanya luka kecil dan dalam, yang memungkinkan adanya kondisi anaerobik yang memudahkan pertumbuhan bakteri. Gejala klinis yang teramati pertama kali adalah kekakuan otot lokal diikuti oleh kekejangan umum, suhu tubuh sangat tinggi menjelang kematian. Kematian akibat tetanus sangat tinggi yaitu mencapai 80% .
Diagnosis dapat diperkirakan berdasarkan gejala klinis adanya kekejangan yang tetanik. Peneguhan diagnosis dapat dilakukan dengan pengiriman spesimen ulas atau biopsi jaringan luka ke laboratorium. Pengobatan dapat dilakukan dengan penyuntikan antitoksin diikuti pembersihan dan desinfeksi luka. Antibiotika dapat mematikan kuman penyebab bila luka telah dibersihkan namun tidak mampu menghilangkan toksin dari jaringan. Ternak yang terserang tetanus dilarang keras dipotong. Karkas harus dimusnahkan dengan dibakar.

Daftar Pustaka:
1. Ismail P. dan Rachmat P. 1993. Peraturan dan Undang-Undang Peternakan. Jakarta.
2. Subronto, 1995. Ilmu penyakit ternak. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
3. Budi Tri Akoso, 1996. Kesehatan Sapi. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Penyakit Antraks

Penyakit Antraks
Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis. Penyakit antraks tergolong berbahaya dan mematikan. Penularan penyakit ini terjadi melalui kontak langsung sentuhan kulit, makanan, minuman, dan pernapasan. Penyakit ini bisa menyerang semua sapi dari berbagai tingkatan umur dan bisa menular kepada manusia.
Serangan antraks ditandai dengan demam tinggi; badan lemah dan gemetar; pernapasan terganggu; terjadi pembengkakan pada kelenjar dada, leher, alat kelamin; badan dipenuhi bisul; keluar darah berwarna merah kehitaman melalui hidung,telinga, mulut, anus, dan vagina; kotoran ternak cair dan sering bercampur darah; serta limpa bengkak dan berwarna kehitaman.
Pencegahan penyakit dilakukan dengan memberikan vaksin spora (Max Sterne) dosis 1 ml setiap 6 bulan sekali atau serum anti-antraks dosis 50100 ml per ekor sapi. Pengobatan sulit dilakukan karena dapat menyebarkan penyakit kepada sapi yang lain. Karena itu, sapi yang terkena antraks harus segera dipotong dan dibakar atau dikubur dengan kedalaman lebih dari 2 m.
2. Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) atau Apthae epizootica (AE)
Penyakit ini disebabkan oleh virus Rhinovirus. Penularan dengan cepat melalui kontak langsung misalnya air kencing, air susu, air liur, dan benda lain yang tercemar kuman AE. Penyakit PMK tidak dapat menular kepada manusia.
Gejala PMK terlihat dari melepuhnya rongga mulut, lidah, dan telapak kaki (tracak), disertai adanya tonjolan bulat berisi cairan bening; sapi mengalami demam atau panas, selanjutnya suhu badan menurun drastic; nafsu makan menurun bahkan tidak mau makan sama sekali; serta keluar air liur secara berlebihan.
Pencegahan PMK dilakukan dengan menjaga kebersihan kandang dan lingkungan, serta memberikan vaksinasi secara rutin setiap 6 bulan sekali. Sapi yang terserang harus diisolasi, sedangkan sapi yang mati harus segera dikubur atau dibakar.
3. Penyakit Ngorok (Mendengkur) atau Penyakit Septichaema Epizootica (SE)
Penyakit ngorok adalah penyakit yang menyerang saluran pernapasan sapi yang berusia muda (umur 6-24 bulan). Penyakit ini disebabkan oleh bakteri PastureIla multocida. Bakteri ini biasanya menyerang sapi yang baru mengalami perjalanan jauh. Penularan penyakit terjadi melalui makanan dan minuman yang tercemar bakteri.
Gejala penyakit ditandai dengan membengkaknya kulit kepala dan selaput lendir lidah disertai warna merah dan kebiruan; membengkaknya leher, anus, dan vulva; paru-paru meradang; selaput lendir usus dan perut masam serta berwarna merah tua; serta sapi mengalami demam dan sulit bernapas sehingga terdengar mengorok. Dalam keadaan sangat parah, sapi akan mati dalam waktu antara 12-36 jam.
Pencegahan penyakit ini dilakukan dengan memberikan vaksinasi anti-SE, setiap 6 bulan sekali. Sementara pengobatannya dapat dilakukan dengan memberikan antibiotika atau sulfa.
Daftar Pustaka
Petunjuk Praktis Menggemukkan Domba, Kambing, dan Sapi Potong Oleh Redaksi AgroMedia

VIRUS JEMBRANA

VIRUS JEMBRANA

JEMBRANA

Virus Penyakit Jembrana (Jembrana Disease Virus) adalah lentivirus dengan genom RNA rantai tunggal (7.732 basa). Virus ini menyerang sapi Bali (Bos javanicus) dan dapat menimbulkan kematian hingga 17% sehingga mengancam produktivitas sapi Bali sebagai sapi potong dan pekerja (Hidayat, 2003).
Secara serologis virus ini bereksi silang terhadap antigen virus Bovine Immunodeficiency Virus (BIV), namun diketahui bahwa virus yang disebut terakhir ini umumnya bereaksi lambat dan secara klinis jarang ditemukan. (Akoso, 1996)
Penyakit tersebut untuk pertama kali diketahui menyerang sapi Bali di desa Sangkararung, Kabupaten Jembrana, Bali, pada tahun 1964. dalam waktu sangat pendek, kurang dari satu tahun, penyakit telah meluas ke seluruh pulau Bali, dan mengakibatkan kematian lebih kurang 60.000 ekor dari populasi pulau Bali yang pada waktu itu berjumlah 300.000 ekor sapi.
Penyakit Jembrana merupakan penyakit viral yang bersifat akut dan kadang fatal pada sapi Bali. Selain diprovinsi Bali, kasus JD dilaporkan telah terjadi dibeberapa daerah di Indonesia seperti : Lampung, Bengkulu, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur (Hartaningsih , 2005).



Virus Penyakit Jembrana (JDV) mengandung gen yang umum pada Retrovirus seperti : gen gag, pol, envelope, dan long terminal repeat (LTR) , JDV juga memiliki gen tambahan yaitu : gen tat dan rev, yang khas pada lentivirus. Protein capsid (CA) yang disintesis oleh gen gag subunit capsid (gag-ca) dan protein transmembrane yang disintesis oleh gen env subunit Transmembran(env-tm) dari JDV ternyata bereaksi positif dengan antibodi hewan yang terinfeksi JDV. Karena itu kedua protein ini dianggap epitop yang bersifat immunogenik (Hartaningsih, 1994).
Penyakit jembrana adalah penyakit viral pada sapi, terutama sapi Bali, yang ditandai dengan depresi, anoreksia, demam, perdarahan extensive di bawah kulit, dan kebengkaan kelenjar limfe, terutama limfoglandula prefemoralis dan prescapularis serta diare berdarah. Banyak kasus penyakit disertai pula dengan perdarahan kulit, hingga sering disebut sebagai berkeringat berdarah. (Subronto, 2000). Penyakit ini terutama menyerang sapi Bali dewasa dengan rata-rata umur 3-4 tahun. Dalam keadaan tertentu, hewan terserang penyeakit ini dapat menjadi sembuh (Akoso, 1996).
Penyakit Jembrana (Jembrana Disease/JD), sejak akhir tahun 1960an telah menjadi penyebab untuk kematian dari beribu-ribu sapi di Bali. Sapi Bali adalah satu komponen utama pertanian kepulauan Indonesia. Mereka menyediakan kulit dan daging untuk populasi dan pendapatan untuk pemiliknya. Penelitian menetapkan bahwa patogenitas yang bertanggung jawab untuk penyakit Jembrana adalah satu retrovirus sapi (satu lentivirus). Ini ditetapkan dari pengamatan bahwa ada reaksi silang antara virus penyakit Jembrana (JDV) dan bovine imunodefisiensi virus (BIV). Dua protein, p26 protein dari Jembrana dan 26K protein kapsid dari BIV, bereaksi silang pada suatu pengujian Blot Western. Informasi mengenai penelitian ini ditransfer ke para rekan kerja Indonesia pada Unit penyelidikan penyakit sapi Bali di Denpasar. Para peneliti sekarang harus mengembangkan satu test untuk mendeteksi virus pada sapi untuk tujuan belajar bagaimana penyebaran penyakit. Sapi yang memerlukan perawatan juga perlu untuk dikenali. (Brownlie,1993.)
Selain sapi Bali, sapi Ongole, Holstein, dan Madura juga dapat terserang jembrana meskipun gejala klinisnya kurang nyata. Banyuwangi, Jawa Timur, penykit telah menyerang sapi Bali dan sapi Rambon, yaitu sapi silangan antara sapi Bali dan Ongole. Kecuali di laboratorium untuk kepentingan percobaan, species lain seperti kambing, domba, dan babi tidak pernah di laporkan terserang oleh penyakit tersebut. (Subronto, 2000)
Penelitian terhadap penyakit telah dilakukan sejak 1967 oleh Adiwinata, Pranoto dan Pujiastono, dari Lembaga Virologi di Surabaya. Berdasarkan gejala klinis dan temuan pada waktu bedah bangkai, serta gambaran patologi anatomik lainnya, penyakit jembrana diusulkan sebagai penyakit mirip dengan sampar sapi (Rinderpest like disease). Peneliti Jepang Sonoda, yang waktu itu didatangkan oleh Pemerintah, telah melakukan uji netralisasi serum dari sapi-sapi penderita Jembrana dengan virus rinderpest. Delapan dari 319 sampel sera yang diperiksa ternyata bereaksi positif, meskipun positif lemah. Dengan temuan tersebut kemudian dilakukan penyuntikan vaksinasi secara besar-basaran terhadap sapi sehat di Bali, dengan menggunakan lapinized avianized rinderpest virus vaccine. Untuk beberapa tahun tidak dilaporkan kejadian penyakit setelah program vaksinasi dilakukan (Subronto, 2000).
Pada tahun 1972 wabah kembali meletup di Tabanan dan menyerang sapi yang belum pernah maupun yang sudah divaksin. Oleh kedua peneliti Hardjosworo dan Budiarso dari Bogor, penyakit diusulkan dinamai penyakit Tabanan. Dari kasus yang mereka teliti (1972) dapat diisolasi organism Rickettsia, setelah pasasi cairan tubuh melalui marmot. Di Bogor, keduanya juga berhasil menemukan organisme yang sama dari dua sapi yang diseksinya. Peneliitian lanjutan ke arah rickettsia oleh Bali Cattle Disease Investigation Unit (BCDIU) tidak membuahkan hasil yang memuaskan. (Subronto, 2000)
Pada tahun 1976 kembali wabah terjadi di daerah transmigrasi Ramadewa, Lampung, pada sapi Bali yang dipelihara oleh orang-orang yang berasal dari Bali. Karena status penyakit jembrana saat itu belum jelas, penyakit di Lampung disebut saja penyakit Ramadewa. Beberapa tahun kemudian, kembali penyakit jembrana terjadi di Banyuwangi, dan menyerang ratusan sapi Bali dan Rambon.(Subronto, 2000)
Setelah berpuluh tahun kejadian penyakit jembrana dapat dilokalisasikan di tiga propinsi, yaitu Bali, Jawa Timur dan Lampung, tiba-tiba wabah yang cukup mengejutkan terjadi di daerah transmigrasi yang pengadaan sapinya disponsori oleh IFAD di Sawahlunto, Sumatera Barat pada bulan April 1992. Dalam waktu yang sangat singkat 168 ekor sapi dari 398 sapi yang sakit telah mati (Hartaningsih, 1994).

Setelah melalui penelitian yang sangat panjang dan intensif, oleh tim peneliti di BCDIU di bawah supervisi Wilcox pada tahun 1987 telah dapat diisolasi virus penyebab penyakit jembrana dari plasma atau serum sapi yang sedang demam. Virus yang ada di dalam darah hewan demam dapat secara bebas ditemukan di luar sel darah dalam jumlah yang sangat banyak (103 virus/ml) dan tetap akan berada dalam jumlah kecil (100/ml) di dalam darah selama lebih dari 2 tahun. Virus tersebut mempunyai enzim reverse transcriptase, berkembang biak dalam sel dan keluar sel melalui proses budding mirip virus lenti tipe C, dapat dihancurkan dengan ether, mempunyai 4 jenis protein yang utama (p26, p16, p100, dan grup p38-42-45). Seperti telah di sebutkan di atas, salah satu proteinnya (p26) bereaksi silang dengan protein dari bovine immunodeficiency virus (BIV). Penelitian virus jembrana sampai saat ini masih dilakukan dengan cara pelacakan susunan DNA atau “sidik jari”(DNA sequensing) untuk membuktikan bahwa virus jambrana adalah virus jenis baru dalam grup Lentivirinae. (Subronto, 2000)
Penemuan ini menarik perhatian dunia karena virus penyebab penyakit jembrana ini satu kelompok dengan virus HIV penyebab AIDS pada manusia. Ada banyak bukti yang menunjang bahwa virus jembrana merupakan virus yang menyebabkan immunodeficiency pada hewan khususnya sapi Bali. (Subronto, 2000)
Sapi Bali (Bos javanicus) adalah pusat pertanian dari kepulauan Indonesia. Lagipula, di dalam kebudayaan orang Bali, sapi dimuliakan. Banyak festival-festival peraturan adat diarahkan pada pemujaannya. Dan pada akhir 1960an terjadi satu penyakit yang mendatangkan malapetaka dikenal sebagai penyakit Jembrana (JD). Dalam perjangkitan epizootik pertama nya, JD membunuh 60,000–80,000 sapi. Sejak itu, epizootiknya lebih lanjut dari penyakit Jembrana telah dicatat. Sekarang mempertimbangkan endemic di dalam penempatan-penempatan tertentu, termasuk pulau utama dari Bali. (Subronto, 2000)
Agen penyakit dikerahkan untuk menjadi bovine retrovirus. Pekerjaan lain dari Institut Kesehatan hewan (IAH) di dalam UK pada retrovirus lain, bovine virus imunodefisiensi (BIV), bahan reaksi yang dihasilkan dan teknik-teknik yang berguna di dalam mengidentifikasi Virus penyakit Jembrana (JDV) patogen.

Penelitian DFID Ini mengarahkan untuk membandingkan JDV dan BIV. Peneliti-peneliti percaya bahwa satu pertukaran dari serological bahan reaksi akan menunjukkan bahwa dua adalah sebangun. Satu pertukaran karena virus lebih lanjut, bahan-bahan klinis dan molekular akan mengkonfirmasikan identifikasi JDV patogen. Informasi yang diperoleh dari proyek bersama dengan para rekan kerja Indonesia ini akan ditujukan untuk riset masa depan.
Para peneliti antar IAH pada Compton dan Bali Cattle Disease Investigation Unit di Denpasar, Indonesia dipertukarkan. Seleksi penuh sampel darah dan jaringan (untuk mRNA dan DNA) diambil di Bali dari kedua-duanya infeksi JDV dan kontrol (bebas dari penyakit) hewan. Sampel DNA dan RNA yang diperoleh digunakan untuk membantu mengkonfirmasikan identifikasi patogen yang dilibatkan di dalam JDV. Mereka bekerja dengan pedoman peneliti-peneliti pada IAH dipimpinnya untuk memastikan virus adalah satu lentivirus.
Meskipun demikian riset ini sedikit banyaknya ditularkan dari petani-petani miskin di Indonesia, ini merupakan suatu langkah utama yang sangat penting dalam membantu untuk meningkatkan mata pencarian mereka. Sejak virus telah dikenali menyebabkan penyakit, riset dapat mulai untuk temukan cara untuk menyerang penyakit.
Para pekerja kesehatan hewan akan membutuhkan peralatan diagnostik dan test awal untuk mengidentifikasi bahwa sapi membawa virus. Ini akan membantu mereka memahami bagaimana JDV tersebar dan memungkinkan para petani untuk menaggulangi sapi yang yang terinfeksi dan sapi sehat dari kontak dengan hewan-hewan sakit lainnya. Proyek ini akan secepatnya membantu petani-petani dan para agen nasional.
Tipe Lentiviruses mempunyai masa inkubasi panjang yang diikuti oleh pengembangan pelan dan pada umumnya penyakit fatal, tetapi pada sapi secara eksperimen JDV-inoculated, masa inkubasi bervariasi dari 5 sampai 12 hari sebelum menunjukkan gejala klinis yang meliputi demam, lymphadenopathy, dan lymphopenia. Meskipun demikian, JDV sangat serupa dengan lentiviruses lain dalam struktur protein, kereaktifan antigen, dan urutan genom. Genomnya berisi gag gen struktural, pol, dan env, pengapit pengulangan-pengulangan terminal panjang dan sejumlah aksesori dan gen-gen pengatur. Jtat, transactivator dari protein rekaman yang disandikan oleh JDV, yang sangat homologus untuk tat protein yang disandikan oleh lentivirus lain dan telah di cakup dalam JDV-mediated Jembrana disease pathogenesis .Bagaimanapun, dasar mekanisme molekular yang tersebut di atas mempengaruhi Jtat sebagian besar tidak dikenal. pada studi ini, hasilnya mengungkapkan bahwa Jtat mengikat kedua-duanya tubulin dan mikrotubula, mempromosikan tubulin polimerisasi, dan peningkatan stabilitas mikrotubula. Lagipula, hasilnya menunjukkan bahwa perubahan dinamika mikrotubula oleh Jtat memicu Bim-dependent apoptosis. Data ini menunjukkan bahwa Jtat-mediated gangguan induksi dan dinamika mikrotubula apoptosis boleh berperan untuk patogenesis dari penyakit Jembrana
(Brownlie, 1993)

Keluarga Retroviridae dikelompokkan kedalam tujuh genus, hanya dua darinya, yaitu Lentivirus dan Spumavirus.
Sifat Retrovirus :
Retrovirus merupakan salah satu golongan virus yang terdiri dari satu benang tunggal RNA (bukannya DNA). Setelah menginfeksi sel, virus tersebut akan membentuk replika DNA dari RNA-nya dengan menggunakan enzim reverse transcriptase (Anonim, 2004).
Virion retrovirus membulat, berdiameter 80-130 nm, dan mempunyai struktur 3 lapis yang unik. Lapisan tengah merupakan kompleks genom-nukleoprotein, yang meliputi sekitar 30 molekul transkriptase balik dan mempunyai kesimetrian helix. Struktur ini terbungkus oleh kapsid iksahedra, yang selanjutnya dikelilingi oleh amplop asal membran sel inang dan dari sini mencuat peplomer glikoprotein.
Genom Retrovirus adalah unik diantara genom virus dalam berbagai hal. Genom tersebut merupakan satu-satunya genom diploid. Genom tersebut merupakan satu-satunya RNA virus yang disintesis dan diproses oleh mesin pengolah mRNA dari sel inang. Genom tersebut merupakan satu-satunya genom yang berkaitan dengan tRNA khusus yang berfungsi mempersiapkan replikasi.
Beberapa Retrovirus menyebabkan tumor ganas, terutama leukemia dan sarkoma. Virus dari genus Lentivirus menyebabkan penyakit saraf dimielinasi yang lambat, arthritis, penyakit lesu kronis yang umum atau AIDS.
Lentivirus barbeda dengan retrovirus lainnya dalam struktur rinci genomnya, yang mengandung beberapa daerah pengatur yang tidak dijumpai pada retrovirus lain dan dalam morfogenesis dan morfologi virionnya. Membran plasmanya sangat menebal pada tempat penguncupan dan nukleokapsid dalam virion dewasa terlihat sebagai silinder padat, seringkali dengan penumpukan materi pekat elektron pada satu ujungnya.

Sifat lentivirus
Dari banyak sifatnya termasuk stuktur virion dan siklus replikasi, lentivirus mirip dengan retrovirus lain, tetapi terdapat perbedaan yang penting. Nukleokapsid virionnya berbentuk silinder dan bukan ikosahedra. Genomnya lebih besar daripada genom retrovirus, sekitar 10kb, dan sebagai tambahan atas gen gag, pol dan env, terdapat enam gen kecil non stuktur yang tidak dijumpai pada retrovirus lain, yang mengatur berbagai kejadian dalam siklus respirasi. Gen pol dan env terpisah pada lentivirus mempunyai kesamaan satu sama lainnya tetapi tidak dengan retrovirus lain.
Virus imunodefisiensi sapi
Virus imunodefisiensi sapi diisolasi dari leukosit darah perifer pada 1972. genomnya sudah dipetakan danmirip dengan enom lentivirus lain. Virus ini dapat ditumbuhkan dalam biakan sel lapis tunggal dari berbagai jaringan embrio sapi, menghasilkan perubahan pada sel yang dicirikan oleh pembentukan sinsitium. Bila virus ditularkan kepada pedet melalui inokulasi intra vena segera terjadi leukopenia yang diikuti dalam waktu 15-20 hari oleh limfositosis yang menetap. Virus tetap hidup dalam sapi yang terinfeksi secara alami selama paling tidak 12 bulan. Tetapi belum diketahiu prevalensi infeksi maupunpengaruh ekonominya.
(Fenner, 1993)

Pathogenesis
Dahulu JD dinyatakan sebagai penyakit yang bersifat noncontagious dalam arti tidak terjadi penularan secara kontak langsung antara hewan sakit dengan hewan sehat. Secara eksperimental, Dennig (1977) mengklaim bahwa caplak Boophilus microplus mampu menularkan JD secara transovarial, ini berarti terjadi perkembangbiakan dari agen JD di dalam tubuh caplak. Mekanisme penularan secara mekanis terjadi karena arthropoda pengisap darah mengalami gangguan pada saat mengisap darah (interrupted feeding) hewan penderita dan selanjutnya mengisap darah kembali pada hewan sehat. Pada saat inilah dapat terjadi penularan, yaitu melalui virus yang mengkontaminasi alat mulut arthropoda pengisap darah tersebut. Dalam kaitan itu, Putra (1993) telah melaporkan bahwa virus JD yang mengkontaminasi alat mulut Tabanus rubidus mampu menimbulkan gejala klinis dan perubahan patologi / histopatologi JD pada hewan percobaan. Secara eksperimental, virus JD yang mengkontaminasi alat mulut nyamuk juga mampu menimbulkan JD pada hewan percobaan (Putra dkk., 2004). Penyidikan vektor biologis lainnya telah dilakukan pada nyamuk Aedes lineatopennis. Dengan variasi jumlah nyamuk yang digunakan serta variasi masa inkubasi (extrinsic incubation period), Putra (2002) melaporkan bahwa Aedes lineatopennis tidak mampu mendukung perkembangbiakan virus JD. Dengan kata lain nyamuk ini tidak memiliki potensi untuk menularkan JD secara biologis. Lebih lanjut, Putra menyarankan bila agen JD adalah retrovirus maka penularan JD melalui serangga pengisap darah mungkin terjadi secara mekanis. Tingginya titer virus JD dalam darah penderita pada saat demam (masih infeksius pada pengenceran 10-8) (Soeharsono et al., 1990) memberi peluang terhadap arthropoda pengisap darah untuk menularkan JD secara mekanis. Jarak yang berdekatan antara hewan sakit dengan yang sehat merupakan salah satu faktor penting dalam penularan penyakit melalui vektor mekanis, khususnya terhadap agen penyakit yang daya tahan hidupnya (viabelitas) rendah di luar tubuh hospes.(Putra,1995)
Sel target pokok dari lentivirus in vivo adalah monosit/makrofag dan limfosit. Setelah penetrasi ke organisme, LV bereproduksi di nodus limfatikus, limfa dan sunsum tulang menjadi lokasi terbaik, dari monosit dan makrofag meneruskan provirus ke seluruh organ. Setelah mencapai otak, pulmo, sendi dan organ lain, monosit dewasa, transformasi menjadi makrofag dan menyebabkan pre-kondisi aktivasi dari provirus dan inisiasi dari infeksi produktif. Rute penyebaran infeksi sangat dipercaya, karena imunokompeten terinfeksi sel bertindak seperti Trojan horse: virus di antara mereka tidaklah dikenali oleh sistem yang kekebalan dan seperti itu, tinggal tetap utuh. Ketekunan unsur-unsur selular ini adalah salah satu dari mekanisme pathogenetic yang utama tentang infeksi lentivirus bulanan atay tahunan.(Shuljak,2007)

Gejala Penyakit :
Hewan yang terserang penyakit ini menunjukkan kenaikan suhu badan yang tinggi, berkisar antara 40-42 C, disertai kelesuan dan kehilangan nafsu makan. Tanda-tanda ini disusul dengan pengeluaran ingus berlebihan, lakrimasi, dan hipersalivasi. Pada awalnya ingus bersifat encer dan bening, tetapi kemudian berubah menjadi kental seperti cairan mukosa. Gejala selanjutnya adalah pembengkakan dan pembesaran kelenjar limfe superficial; yang pertama membengkak adalah kelenjar limfe preskapularis, lalu kelenjar limfe prefemoralis dan akhirnya sekali-sekali kelenjar limfe parotidea. Pembesaran kelenjar limfe ini bersifat bilateral dan ukuran besarnya dapat sebesar tinju orang dewasa, sehingga perubahan ini mudah dilihat dari jarak jauh.
Sekitar 23% dari hewan yang menderita menunjukkan perdarahan dan erosi di bagian selaput lendir di sekitar lubang hidung, bagian dorsal lidah, dan rongga mulut. Di dalam rongga mulut lesi biasanya ditemukan di selaput lendir bagian dalam, pipi, bibir atas dan bawah, dan gusi rahang atas atau bawah. Ukuran erosi ini bervariasi, dari beberapa milimeter sampai lebih dari lima sentimeter. Bentuknya biasanya lonjong bundar atau memanjang. Kadang-kadang ditemukan juga di tepi dan sepanjang bibir di daerah perbatasan antara kulit dan selaput lendir nekrotik yang cukup luas. Jaringan yang mati ini mudah dikelupas dan meninggalkan luka yang merah dan dasarnya bergranulasi.
Perdarahan yang berbentuk linier kadang ditemukan pada mukosa bagian bawah pangkal lidah. Perdarahan ini dengan mudah bisa dilihat bila lidah ditarik keluar. Perdarahan ini dapat dilihat sewaktu hewan masih hidup dan biasanya tidak nampak lagi setelah hewan mati.
Salah satu gejala menyolok adalah “berkeringat darah”. Keadaan ini biasanya terlihat sewaktu dan setelah demam dan berlangsung 2-3 hari. Kira-kira 7% hewan yang bersuhu badan 41 C atau lebih memperlihatkan gejala tersebut. Gejala ini terutama ditemukan di daerah panggul, punggung, perut, dan skrotum. Keringat yang encer, seperti air dan berwarna merah darah jika masih segar, dan menetes dari permukaan kulit melalui sepanjang rambut. Jika keringat menempel pada batang rambut, maka akan terbentuk kerak berbintil-bintil dan tidak lepas jika diusap dengan tangan.

Bulu penderita menjadi kasar, kurang mengkilat dan berdiri. Ritme pernafasan dan denyut nadi menjadi lebih cepat. Sapi yang menderita demam tinggi biasanya mengalami konstipasi dan setelah suhu badan menurun hingga normal, disusul dengan diare. Sewaktu konstipasi sifat tinja padat dan keras, dan kadang-kadang bercampur bekuan darah. Bila diare maka konstipasi tinja menyerupai air, berbau busuk dan kadang-kadang tercampur bekuan darah atau darah segar. Pada hewan sakit atau hewan yang sering mendekam dapat terjadi keluarnya darah segar dari anus, hal ini mengakibatkan prolapsis rekti. Kadang-kadang juga ditemukan hematuria.
Gejala lain yang sering terlihat adalah perdarahan pada selaput lendir alat kelamin. Kemerahan dan perdarahan juga dapat ditemukan pada selaput lendir mata. Bahkan kadang-kadang, walau sangat jarang, ditemukan perdarahan di dalam kamar mata depan dan gumpalan bekuan darah mengisi sebagian ruang mata. Demam tinggi biasanya juga disertai kepincangan pada satu atau dua kaki. Kaki yang pincang terlihat sedikit membengkak karena oedema dan hiperemi di daerah zona koronaria. Bila daerah bengkak ini dipegang atau ditekan, penderita menunjukkan rasa kesakitan. Gejala pincang tidak bersifat permanen dan dapat menghilang atau sembuh sendiri secara cepat.
Sapi betina bunting yang mengalami penyakit ini sering mengalami keguguran, terutama pada bunting 4 bulan atau lebih. Hewan yang lebih mudah terserang penyakit ini adalah hewan yang berumur lebih dari satu tahun. Umur rata-rata sapi yang peka terserang penyakit ini berkisar antara 3-4 tahun.
Diagnosa banding
Diagnosa banding secara klinis penyakit Jembrana dapat dikelirukan dengan MCF, SE, IBR, Tripanosomiasis, Rinderpest dan BEF.
Kejadian di Indonesia
Sejauh ini penyakit jembrana hanya dikenal di Indonesia dan hanya menyerang sapi Bali. Wabah pertama terjadi pada tahun 1964-1967 di Kabupaten Jembrana, Gianyar, Klungkung, Bandung, Tabanan dan Buleleng adalah wabah terbesar. Wabah selanjutnya lebih kecil seperti pada tahun 1972, 1974 di mulai di Kabupaten Tabanan, kemudian menjalar ke Kabupaten yang sama seperti wabah tahun 1964, tahun 1977 di Kabupaten Karangasem dan tahun 1979 terjadi lagi di Malaya, Kabupaten Jembrana da Gerokgak Kabupaten Buleleng.
Daerah yang pernah melaporkan adanya wabah akan menjadi daerah enzootic yang mengalami kasus sporadic sepanjang tahun.
Hewan rentan
Penyakit Jembrana hanya menyerang sapi Bali. Sebegitu jauh, penyakit Jembrana tidak ditemui pada rumpun sapi yang lain. Hewan yang terserang berumur lebih dari satu tahun dan yang terbanyak pada umur 4-6 tahun. Jenis kelamin tidak mempengaruhi kejadian penyakit.
Cara penularan
Cara penularan sampai sekarang belum diketahui dengan pasti, tetapi pengalaman menunjukkan bahwa penyemprotan dengan pestisida dapat mencegah perluasan wabah yang berarti bahwa vector mempunyai peranan dalam penularan penyakit.
Endang dalam seminar bioetika (2008) menyampaikan bahwa penularan penyakit Jembrana ini terjadi secara mekanis dapat terjadi melalui gigitan lalat, misalnya Tabanus rubidus atau dengan perantara jarum suntik.
Data yang sampai sekarang ada, menunjukkan angka sakit yang rendah (lebih kurang 1%) dan angka mati kasus (case fatality rate) 10-13%. Angka ini bisa meningkat mencapai 40% pada daerah yang baru pertama kali terkena wabah/ dan pada wabah di daerah yang sangat padat populasinya.
Sapi yang menderita penyakit Jembrana boleh dipotong dan dagingnya dapat dikonsumsi. Bangkai sapi yang terserang penyakit Jembrana harus dimusnakan dengan dikubur atau dibakar. Kandang dan lingkungannya harus didesinfeksi secara teliti (Endang, 2008).

Tindakan
1. Pencegahan
Selama ini pencegahan dilakukan dengan vaksin dari Crude vaccine berasal dari organ limfa sapi Bali terserang akut penyakit Jembrana Crude vacinne mempunyai daya imunogenitas rendah, tidak stabil, mahal, dan keberadaannya terbatas atau inbalance antara volume vaksin dengan jumlah populasi sapi Bali. Pengembangan vaksin Jembrana oleh karenanya dirasa perlu untuk meningkatkan mutu dan kualitas vaksin Jembrana Guna memenuhi keperluan ini pendekatan dengan teknologi DNA rekombinan utamanya pada protein rekombinan adalah terobosan yang tepat untuk penyediaan vaksin Jembrana berbasis molekuler. Sebagai bahan vaksin rekombinan digunakan potongan gen yang berasal dari genom virus Jembrana. Diketahui bahwa Genom JDV berupa RNA untai tunggal yang terdiri atas 7.732 nukleotida. Di dalam genom JDV terdapat salah satu gen, yaitu tat yang merupakan asesoris kecil dan Genom JDV terletak antara pol dan env. Selain itu terdapat pula gen env yang dapat menyandi protein rekombinan JSU dan JTM. Sementara ini telah di kloning protein Jtat dengan Sistem pET yang mempunyai fusi protein berukuran 6 histidin. Ukuran fusi-protein yang sangat kecil ini menjadikan protein rekombinan Jtat yang dihasilkan mempunyai efikasi tinggi. Sistem ekspresi melalui E. coli BL-21 saat ini sedang diuji dalam skala laboratorium (200 ml kultur). Keberhasilan kloning JTat sebagai vaksin rekombinan Jembrana ini akan mendorong untuk perakitan clone dari sumber gen env (JSU dan JTM) sebagai bahan vaksin rekombinan Jembrana lainnya.

2. Pengendalian dan pemberantasan
Setiap hewan sakit harus benar-benar diisolasi. Pemusnahan vektor harus dilaksanakan dengan segera, baik pada setiap kandang yang terjangkit maupun sekitarnya secara meluas. Tergantung dari populasi vektor, penyemprotan dengan pestisida dapat diulang setiap 1-2 minggu.
Pelaksanaan penanggulangan atau pemberantasan penyakit ingusan dilakukan dengan undang-undang kehewanan, antara lain :
a. ternak yang menderita atau terserang sakit ingusan harus disingkirkan sedemikian rupa sehingga tidak akan bersentuhan degan ternak-ternak lain, khususnya dengan domba.
b. Tempat pengasingan ternak yang sakit, harus terpisah dari ternak yang sekandang dan sepekarangan lainnya.
c. Ternak yang tersangka sakit bila setalah 2-3 bulan dalam pengasingan tidak memperlihatkan gejala-gejala sakit dapat dibebaskan.


d. Pengasingan sedapat mungkin dilakukan setempat dan didekatnya disediakan lubang-lubang sedalam 2-2,5 meter untuk tempat pembuangan kotoran atau cairan dari tempat pengasingan. Lubang-lubang tersebut ditimbun dengan tanah, bilamana telah terisi sampai 60 cm di bawah permukaan tanah dan setiap 60 cm ditimbun lagi.
e. Semua orang kecuali petugas pemelihara ternak yang diisolasi dilarang memasuki tempat pengasingan.
f. Di pintu kandang atau halaman tempat pengasingan di pasang papan yang antara lain bertuliskan ” Penyakit Hewan Menular Ingusan ” disertai dengan nama daerah setempat.
g. Setelah ternak yang sakit mati atau sembuh maka kandang tempat, barang-barang yang pernah bersentuhan dengan ternak tersebut harus dihapushamakan. Kandang, tempat, atau barang-barang yang terbuat dari bambu atap, alang-alang yang sulit dihapushamakan harus dibakar.
h. Bangkai ternak sakit ingusan harus dibakar atau dikubur.

3. Pengobatan
Hasil penelitian penggunaan antibiotik kurang memuaskan tetapi tidak ada salahnya antibiotik berspektrum luas digunakan/dicoba untuk pengobatan, setidak-tidaknya untuk mencegah infeksi sekunder. Penyuntikan dengan antibiotik harus dilakukan sedini mungkin dan harus dijelaskan secara tepat kepada pemilik ternak bahwa kemungkinan adanya kematian masih tetap ada, jangan sampai para petugas menjadi bulan-bulanan pekerjaan sendiri.
Disamping antibiotik, pemberian obat penguat sangat dianjurkan.








DAFTAR PUSTAKA

Akoso, Budi Tri. 1996. Kesehatan Sapi. Yogyakarta : Kanisius
Fenner, Frank J. 1993. Virologi Veteriner. Academic press. Inc, Toronto, New York
Subronto. 2003. Ilmu Penyakit Ternak I. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
Pedoman Pengendalian Penyakit Hewan Menular Jilid II. Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jend. Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian Jakarta
Agustini, Ni Luh Putu dan Hartaningsih, Nining. 2005. Produksi Rekombinan Protein Virus Jembrana (J Gag 6) untuk Antigen Elisa
Putra, Anak Agung Gde, Sulistyana, Kukuh dan Budianto. 1995. Kemampuan Virus Jembrana yang Mengkontaminasi Alat Mulut Nyamuk (Aedes, Culex) untuk Menimbulkan Penyakit pada Sapi Bali
Chadwick, B.J. et al. 1998. Detection of Jembrana Disease Virus in Spleen, Lymph nodes, Bone Marrow and Other Tissues by in situ Hybridization of Paraffin-Embedded Sections. Journal of General Virology 79 : 101-106
Chen, Hexin et al. 1999. Characterization of the Jembrana Disease Virus tat Gen and the cis- and trans- Regulatory Elements in Its Long Terminal Repeats. Journal of Virology 01 : 658-666
Pallans, Lackman-Smith, and Gonda. 1992. Bovine Immunodeficiency-Like Virus Encodes Factors Which trans Activate the Long Terminal Repeat. Journal of Virology 05 : 2647-2652