Jumat, 25 Maret 2011

Syarat Kesehatan Hewan Sapi Bibit Ditinjau dari Penyakit Bakteri

Syarat Kesehatan Hewan Sapi Bibit Ditinjau dari Penyakit Bakteri
Syarat kesehatan hewan adalah persyaratan yang harus dipenuhi bagi setiap bibit ternak yang di masukkan ke dalam wilayah Indonesia untuk pencegahan dan penolakan kemungkinan masuknya penyakit hewan menular dari luar negeri. Peraturan pemasukan bibit ternak dari luar negeri ke Indonesia di atur dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian No: 750/Kpts/Um/10/1982. Salah satu keputusan untuk pemasukan bibit ternak dari luar negeri ke Indonesia adalah memenuhi syarat kesehatan hewan.
Untuk pemasukan bibit sapi perah diatur dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian No: 753/Kpts/Um/10/1982. Dalam SK mentan tersebut diterangkan bahwa pemasukan bibit sapi perah ke Indonesia harus memenuhi persyaratan bebas dari penyakit, salah satunya adalah bebas dari penyakit bakterial. Bibit sapi perah yang masuk ke wilayah Indonesia harus bebas terhadap beberapa jenis penyakit bakteri seperti Antraks, Bovine Genital Campylobacteriosis, John’s Disease, Leptospirosis, Salmonellosis, Clostridial Disease, Brucellosis, Tuberculosis dan Pink Eye.

1. Antraks

Penyakit antraks atau radang limpa merupakan penyakit yang disertai bakteriemia pada kebanyakan spesies hewan. Antraks telah tersebar diseluruh dunia terutama di negara tropis namun umumnya terbatas pada beberapa wilayah saja. Antraks disebabkan oleh Bacillus anthracis, dan bakteri ini dapat membentuk spora bila terdedah udara dan tahan hidup hidup di tanah, di lingkungan yang panas dan bahan kimia atau desinfektan. Apabila terjadi perubahan ekologik seperti datangnya musim hujan, spora yang semula bersifat laten akan berkembang dan meningkat populasinya.
Sumber utama penularan antraks pada hewan adalah tanah yang tercemar dan air yang masuk tubuh melalui luka, terhirup bersama udara atau tertelan. Gejala yang menciri akibat serangan antraks adalah gejala septisemia yang ditandai adanya kematian mendadak dan perdarahan bersifat sianotik dari lubang-lubang alami. Di daerah endemik, terjadinya kematian mendadak pada sapi harus diwaspadai ada kemungkinan terserang antraks.
Diagnosis antraks berdasarkan epidemiologi/ atau adanya riwayat penyakit radang antraks dan gejala klinis. Pengiriman spesimen ke laboratorium berupa darah di dalam tabung, tusukan jarum dari telinga atau ekor atau preparat ulas darah. Pencegahan dan pengendalian antraks dapat dilakukan dengan melakukan vaksinasi pada ternak. Diagnosis banding dari antraks adalah keracunan tumbuhan, black leg, enterotoksemia. Hewan yang terserang atau diduga terserang antraks dilarang keras dipotong. Karakar dan alat yang tercemar harus dibakar dan kemudian dikubur dengan dilapisi gamping.

2. Bovine Genital Campylobacteriosis

Bovine genital campylobacteriosis atau vibriosis adalah suatu penyakit kelamin pada sapi yang disebabkan oleh Campylobacter foetus. Infeksi yang terjadi terbatas pada alat reproduksi sapi betina atau kantung prepusium hewan jantan. Bakteri ini mudah mati oleh sinar matahari dan desinfektan. Campylobacteriosis di Indonesia telah ditemukan di beberapa tempat namun penyebarannya belum diketahui secara rinci.
Penularan penyakit terjadi melalui perkawinan atau inseminasi buatan (IB) dengan semen pejantan yang terinfeksi. Sapi betina yang terserang campylobacteriosis pertama kalinya dapat mengalami keguguran pada kebuntingan bulan ke-5 atau ke-6. Setelah infeksi berkembang, gejala yang muncul adalah turunnya fertilitas dan angka kelahiran akibat kematian janin.
Diagnosis penyakit ini dapat dilakukan dengan pengiriman contoh uji dari leleran vagina, prepusium pejantan dan serum ke laboratorium. Diagnosa banding campylobacteriosis adalah trikomoniasis, brucellosis dan IBR. Pengendalian infeksi pada ternak dapat dilakukan dengan manajemen yang baik dan vaksinasi. Semen yang akan digunakan untuk IB harus bersih dari infeksi dan bebas penyakit campylobacteriosis.

3. Johne’s Disease

Johne’s disease atau paratuberkulosis dalah penyakit bakterial menahun yang disebabkan oleh Mycobacterium paratuberculosis. Penyakit ini menyebabkan radang usus dengan gejala diare hebat terus menerus dan berakhir dengan kematian. Kejadian paratuberkulosis tersebar secara luas di dunia. Di Indonesia kejadian penyakit belum ada data yang pasti penyebarannya namun dilaporkan Secara histopatologis pernah didiagnosis pada sapi perah impor di Semarang.
Penularan penyakit terjadi karena pencemaran lingkungan oleh bakteri melalui makanan dan minuman. Penularan sering terjadi dari penderita paratuberkulosis sub-klinis. Gejala klinis penyakit ini bervariasi, dimulai dari turunnya kondisi tubuh dan kebengkakan intramadibular. Nafsu makan dan suhu tubuh biasanya tetap normal.
Diagnosis berdasarkan atas gejala klinis dan dikukuhkan dengan pengujian laboratoris dari sepesimen usus halus untuk pemeriksaan patologi, isolasi dan identifikasi bakteri. Uji intradermal dengan Johnin test juga dapat dilakukan di lapangan. Pengendalian penyakit dengan pengobatan tidak efektif sehingga dianjurkan agar hewan sakit dipotong untuk menghindari kerugian. Sapi penderita paratuberkulosis yang dipotong masih dapat dikonsumsi dagingnya dan jaringan yang terserang dimusnahkan dengan dibakar.

4. Leptospirosis

Leptospirosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi bakteri Leptospira spp. Penyakit ini mempunyai arti penting ditinjau dari segi ekonomi peternakan dan kesehatan masyarakat. Bakteri Leptospira peka terhadap asam, tahan hidup di dalam air tawar selama satu bulan tetapi mudah mati dalam air laut, air selokan dan air kencing yang pekat. Kejadian leptospirosis di Indonesia telah dilaporkan sejak jaman Hindia Belanda dan secara epidemiologi telah dilaporkan diberbagai tempat di Jawa dan Bali.
Leptospirosis merupakan penyakit zoonosis dan menyerang hampir setiap hewan menyusui. Beberapa macam serovar telah ditetapkan yaitu serovar harjo, bataviae, javanica, semarangga, djasman, sentot dan paidjan. Infeksi pada sapi yang paling sering terjadi disebabkan oleh serovar harjo, sedangkan serovar pomona merupakan serovar yang paling banyak menyebabkan infeksi akut. Penularan penyakit melalui kulit yang luka atau lewat selaput lendir mata, hidung dan saluran pencernaan.
Diagnosis leptospirosis dapat dilakukan dengan uji MAT (Microscopic Agglutination Test) dari plasma darah, air kencing dan berbagai organ. Isolasi bakteri dapat dilakukan dari spesimen hati dan ginjal hewan yang baru saja mati atau dari organ janin yang abortus (ginjal, paru dan cairan rongga dada). Diagnosis banding penyakit ini adalah anaplasmosis, babesiosis dan infeksi Clostridium hemoliticum (hemoglobinuria basiler).
Pengobatan penyakit dengan beberapa jenis antibiotika harus segera dilakukan pada sapi yang terinfeksi untuk menghindari kerusakan jaringan dan perkembangan bakteri dalam tubuh ternak. Vaksinasi dapat dilakukan bersamaan dengan pemberian antibiotika. Untuk kelompok ternak terbatas vaksinasi diberikan setiap tahun, sedangkan pada ternak yang menyebar dilakukan setiap 6 bulan.

5. Salmonellosis

Salmonellosis pada sapi disebabkan oleh infeksi bakteri Salmonella dublin, S. typhimurium atau S. newport. Penyakit ini menyebabkan peradangan usus atau enteritis dan invasi organisme ke dalam aliran darah menyebabkan septisemia. Salmonella tidak tahan hidup di alam, terutama dalam suasana kering. Salmonellosis pada sapi di Indonesia ditemukan di mana-mana. Pada tahun 1984 dilaporkan infeksi S. dublin pada sapi dan kerbau di Sumatera Utara dan kemudian pada tahun 1988 salmonellosis telah menyebabkan banyak kematian pada sekelompok anak sapi di Semarang.
Penularan salmonellosis terjadi melalui pakan atau minuman yang tercemar dengan tinja dari ternak yang terinfeksi. Ternak yang terinfeksi dapat tetap mengeluarkan kuman 3-4 bulan setelah sembuh. Selain itu penularan juga dapat terjadi secara intra uterin. Gejala klinis salmonellosis akut berupa demam, lesu, kurang nafsu makan. Pada sapi perah dapat menurunkan produksi susu. Ternak juga mengalami diare berdarah dan berlendir. Kematian dapat terjadi dalam waktu 3-4 hari setelah infeksi. Anak sapi umur 2-6 minggu yang terinfeksi secara akut dapat mengalami septisemia tanpa timbul diare. Selain itu hewan dalam keadaan bunting dapat mengalami keguguran jika terinfeksi.
Diagnosis di dasarkan atas gejala klinis, identifikasi kuman dan perubahan pasca mati berupa penebalan selaput lendir usus yang berdarah dan jejas nekrotik. Pada anak sapi yang terserang selaput lendirnya dapat terjadi pneumonia. Isolasi kuman dapt dilakukan dari spesimen tinja, air kencing dan potongan usus. Diagnosis banding salmonellosis adalah pasteurellosis, keracunan pakan, kolibasilosis, koksidiosis, IBR, infeksi Clostridium perfringens tipe B dan C serta paratuberkulosis.

6. Brucellosis

Brucellosis pada sapi atau keluron menular adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Brucella abortus. Penyakit ini dapat mengakibat keguguran, angka kematian sangat kecil tau tidak terjadi namun kerugian ekonomi yang ditimbulkan sangat besar berupa keguguran, anak lahir lemah (weakness), lahir mati (stillbirth), fertilitas dan infertilitas. Kejadian brucellosis di Indonesia telah menyebar hampir di seluruh propinsi kecuali Bali dan Lombok.
Penularan brucellosis terjadi melalui saluran makanan, saluran kelamin, selaput lendir atau kulit yang luka dan IB. Gejala klinis brucellosis pada sapi dipengaruhi oleh umur sapi yang terinfeksi, jumlah kuman dan tingkat virulensinya. Anak sapi yang lahir dari induk yang terinfeksi akan terus menyimpan bibit penyakit sampai mencapai usia dewasa. Gejala yang paling menciri adalah keguguran pada bulan ke 5-8 kebuntingan. Pada sapi jantan brucellosis dapat menyebabkan peradangan testis (orchitis).
Diagnosis penyakit dapat dilakukan secara serologis dan dengan isolasi bakteri. Uji serologis dapat dilakukan dengan RBT (Rose Bengal Test), CFT (Complement Fixation Test) atau ELISA. Pengujian pada sekelopmpok sapi perah dapat dilakukan dengan uji MRT (Milk Ring Test). Isolasi bakteri dapat dilakukan dari spesimen yang diambil dari organ janin yang keguguran (paru dan lambung) dan dari plasenta induk, leleran vagina dan susu. Pada sapi jantan dapat diisolasi dari semen.
Pengobatan brucellosis dengan antibiotika tidak efektif, pengendalian dapat dilakukan dengan vaksinasi dan test and slaughther/ potong bersyarat pada reaktor. Daerah dengan prevalensi brucellosis < 2% pengendalian dilakukan dengan test and slaughther, sedangkan daerah dengan prevalensi > 2% pengendalian dilakukan dengan vaksinasi.

7. Tuberkulosis

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit kronis yang menyerang semua jenis hewan dan manusia. Tuberkulosis pada sapi secara ekonomis sangat merugikan dan sekaligus merupakan ancaman bagi kesehatan manusia. Penyakit TB disebabkan oleh bakteri tahan asam Mycobacterium tuberculosis. Ada tiga tipe bakteri TB yaitu, tipe human (orang), tipe bovine (sapi), dan avian (unggas), namun demikian ketiga tipe tersebut dapat menginfeksi hewan. Kuman TB dapat tahan hidup berbulan-bulan di padang rumput yang rindang atau di kandang yang teduh. Kuman dapat mati secara cepat jika tekena sinar matahari. Kejadian TB di Indonesia banyak ditemukan pada sapi perah daripada sapi potong. Sampai tahun 1994, kasus TB pada sapi hanya ditemukan di Jawa Barat.
Penyakit TB sering dijumpai pada sapi perah yang sudah tua terutama yang dikandangkan dengan higiene lingkungan yang jelek. Prevalensi TB pada sapi di kandang terbuka biasanya lebih rendah. Infeksi terjadi melalui pernafasan atau percikan batuk dari hewan terinfeksi yang mencemari pakan atau minum. Pedet dapat tertular melalui susu dari induk yang terinfeksi. Lesi yang menciri dari TB adalah pembentukan tuberkel atau bungkul berwarna putih kekuningan pada paru atau usus hewan yang terinfeksi. Bungkul tersebut berisi cairan bernanah, hewan dapat mati karena organ tidak berfungsi akibat perkembangan jejas pada organ yang meningkat.
Diagnosis TB pada hewan hidup dapat dilakukan dengan reaksi hipersensitivitas dengan uji tuberkulin. Pada hewan terinfeksi akan terjadi pembengkakan pada sisi suntikan dan dapat diukur luasnya dengan kaliper. Hewan yang mati akibat TB dapat dikirimkan jaringan yang mengandung sarang-sarang tuberkel untuk isolasi bakteri dan pemeriksaan histopatologi.
Pengobatan tidak dianjurkan pada hewan yang terserang TB karena tidak ekonomis. Pengujian TB dapat dilakukan secara teratur setiap 6-12 bulan dengan uji tuberkulin diikuti dengan pemotongan reaktor.

8. Pink Eye

Pink eye atau radang mata menular adalah penyakit menular akut pada sapi yang disebabkan oleh bakteri, virus, riketsia atau klamidia. Penyebab bakteri adalah Moraxella bovis yang bersifat hemolitik. Penyakit ini ditandai dengan adanya kemerahan pada selaput lendir mata yang selanjutnya dapat menyebabkan kekeruhan kornea atau kebutaan. Penurunan berat badan terjadi karena gangguan mencari pakan akibat kebutaan. Infeksi bisa terjadi secara unilateral maupun bilateral. Kejadian penyakit radang mata menular di temukan di Indonesia di mana-mana pada berbagai jenis sapi terutama sapi Bali.
Penularan penyakit ini dapat melalui debu, lalat dan percikan air yang tercemar oleh bakteri. Pada musim panas, penyakit ini sering ditemukan karena adanya debu dan lalat. Masa tunas dari pink eye berlangsung 2-3 hari ditandai dengan kongesti pada selaput lendir mata dan kornea. Hewan yang terinfeksi mengeluarkan banyak air mata, blefarospasmus, dan fotopobia. Kekeruhan kornea dapat terjadi 2 hari setelah infeksi, ulkus pada kornea timbul hari ke-4 dan kemudian pada hari ke-6 seluruh kornea menjadi keruh yang berakhir dengan kebutaan.
Diagnosis penyakit ini berdasarkan gejala perubahan pada kornea. Peneguhan diagnosis dapat dilakukan dengan isolasi dan identifikasi bakteri secara laboratoris dari spesimen swab air mata. Pengendalian penyakit radang mata menular ini dapat dilakukan dengan pengobatan antibiotika berspektrum luas.

9. Clostridial Disease

Clostridial disease pada sapi dapat disebabkan oleh infeksi berbagai spesies dari bakteri Clostridium, yaitu Clostridium botulinum sebagai penyebab penyakit botulisme, CL. Chauvoei penyebab penyakit radang paha dan Cl. tetani penyebab penyakit tetanus.


Botulisme atau Lamziekti adalah penyakit yang disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh bakteri Clostridium botulinum yang memperbanyak diri dalam jaringan yang membusuk. Bakteri ini membentuk spora dan tahan hidup bertahun-tahun dalam tanah dan bersifat anaerobik. Hewan yang terinfeksi mengalami kelumpuhan total otot gerak. Cl. Botulinum terdapat dimana-mana di Indonesia dan terjadinya infeksi tergantung oleh faktor predisposisi seperti tidak sengaja termakan atau terminum.
Penularan penyakit terjadi melalui toksin dalam pakan atau air yang tercemar oleh bakteri. Kejadian botulisme sering terjadi pada sapi yang kekurangan fosfor karena hewan yang kekrangan fosfor cenderung mengunyah tulang yang dijumpai di pengembalaan. Apabila tulang tersebut berasal dari hewan pembawa kuman maka akan terjadi intoksikasi. Gejala klinis yang mencolok dari penyakit botulisme adalah terjadinya kelumpuhan total secara perlahan. Toksin menyerang sistem syaraf dan menyebabkan hewan sempoyongan, kesulitan menelan, ngiler dan mata terbelalak. Kelumpuhan terjadi pada lidah, bibir, tenggorokan, kaki dan disusul kelemahan umum.
Diagnosis penyakit dapat dilakukan dengan uji laboratoris dari spesimen pakan, isi usus atau bangkai dan diteguhkan dengan pengukuran konsentrasi toksin. Pengendalian penyakit ini dengan pengobatan tidak efektif, pencegahan dilakukan dengan pemusnahan karkas dan vaksinasi dengan toksoid tipe C dan D. Hewan yang mati karena botulisme dilarang dipotong untuk dikonsumsi dagingnya. Bangkai dimusnahkan, kandang serta peralatan disucihamakan dengan desinfektan.


Radang paha atau Black Leg adalah penyakit menular akut yang disebabkan oleh infeksi bakteri Cl. Chauvoei pada sapi yang berakibat kepincangan dan radang yang hebat pada bagian paha. Kejadian penyakit radang paha di Indonesia pertama kali dilaporkan di Subang pada tahun 1907. Daerah endemik radang paha di Yogjakarta, Surakarta dan Madiun.
Penularan penyakit terjadi melalui spora yang termakan oleh hewan dan biasanya menyerang sapi muda umur 8-18 bulan. Gejala klinis yang mencolok adalah pada pangkal kaki belakang yang terserang dengan gejala awal pincang diikuti terbentuknya peradangan di bagian atas kaki yang meluas secara cepat. Jaringan yang terserang jika diraba berkrepitasi yang disebabkan penumpukan gas di bawah kulit. Timbul demam yang tinggi dan pernafasan meningkat, hewan terdengar mendengkur dengan gigi gemertak. Kematian terjadi mendadak antara 1-2 hari setelah timbul gejala serta dapat terjadi pendarahan pada hidung dan dubur.
Diagnosis dapat dilakukan dengan pengujian FAT. Pemeriksaan sediaan ulas darah secara cepat dapat membedakan dengan penyakit antraks. Pengendalian dan pencegahan dapat dilakukan dengan vaksinasi masal di daerah tertular setiap tahun untuk umur 6 bulan sampai 3 tahun. Pengobatan hewan sakit dapat dilakukan dengan suntikan penisilin dosis besar. Hewan yang mati karena radang paha dilarang dipotong untuk dikonsumsi dagingnya. Bangkai dimusnahkan, kandang serta peralatan disucihamakan dengan desinfektan.


Tetanus adalah penyakit akut yang mengakibatkan kekakuan dan kekejangan otot tubuh yang disebabkan infeksi bakteri Cl. Tetani. Bakteri ini terdapat di dalam tanah dan alat pencernaan hewan. Tetanus ditemukan dimana-mana di Indonesia terutama kuda, babi, domba, kambing dan kera, sedangkan pada sapi jarang terjadi. Kejadian penyakit ini biasanya bersifat insidental mengikuti infeksi pada luka yang dalam atau pada lokasi yang banyak menggunakan pupuk kandang.
Penularan terjadi karena adanya luka kecil dan dalam, yang memungkinkan adanya kondisi anaerobik yang memudahkan pertumbuhan bakteri. Gejala klinis yang teramati pertama kali adalah kekakuan otot lokal diikuti oleh kekejangan umum, suhu tubuh sangat tinggi menjelang kematian. Kematian akibat tetanus sangat tinggi yaitu mencapai 80% .
Diagnosis dapat diperkirakan berdasarkan gejala klinis adanya kekejangan yang tetanik. Peneguhan diagnosis dapat dilakukan dengan pengiriman spesimen ulas atau biopsi jaringan luka ke laboratorium. Pengobatan dapat dilakukan dengan penyuntikan antitoksin diikuti pembersihan dan desinfeksi luka. Antibiotika dapat mematikan kuman penyebab bila luka telah dibersihkan namun tidak mampu menghilangkan toksin dari jaringan. Ternak yang terserang tetanus dilarang keras dipotong. Karkas harus dimusnahkan dengan dibakar.

Daftar Pustaka:
1. Ismail P. dan Rachmat P. 1993. Peraturan dan Undang-Undang Peternakan. Jakarta.
2. Subronto, 1995. Ilmu penyakit ternak. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
3. Budi Tri Akoso, 1996. Kesehatan Sapi. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar