Jumat, 25 Maret 2011

VIRUS JEMBRANA

VIRUS JEMBRANA

JEMBRANA

Virus Penyakit Jembrana (Jembrana Disease Virus) adalah lentivirus dengan genom RNA rantai tunggal (7.732 basa). Virus ini menyerang sapi Bali (Bos javanicus) dan dapat menimbulkan kematian hingga 17% sehingga mengancam produktivitas sapi Bali sebagai sapi potong dan pekerja (Hidayat, 2003).
Secara serologis virus ini bereksi silang terhadap antigen virus Bovine Immunodeficiency Virus (BIV), namun diketahui bahwa virus yang disebut terakhir ini umumnya bereaksi lambat dan secara klinis jarang ditemukan. (Akoso, 1996)
Penyakit tersebut untuk pertama kali diketahui menyerang sapi Bali di desa Sangkararung, Kabupaten Jembrana, Bali, pada tahun 1964. dalam waktu sangat pendek, kurang dari satu tahun, penyakit telah meluas ke seluruh pulau Bali, dan mengakibatkan kematian lebih kurang 60.000 ekor dari populasi pulau Bali yang pada waktu itu berjumlah 300.000 ekor sapi.
Penyakit Jembrana merupakan penyakit viral yang bersifat akut dan kadang fatal pada sapi Bali. Selain diprovinsi Bali, kasus JD dilaporkan telah terjadi dibeberapa daerah di Indonesia seperti : Lampung, Bengkulu, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur (Hartaningsih , 2005).



Virus Penyakit Jembrana (JDV) mengandung gen yang umum pada Retrovirus seperti : gen gag, pol, envelope, dan long terminal repeat (LTR) , JDV juga memiliki gen tambahan yaitu : gen tat dan rev, yang khas pada lentivirus. Protein capsid (CA) yang disintesis oleh gen gag subunit capsid (gag-ca) dan protein transmembrane yang disintesis oleh gen env subunit Transmembran(env-tm) dari JDV ternyata bereaksi positif dengan antibodi hewan yang terinfeksi JDV. Karena itu kedua protein ini dianggap epitop yang bersifat immunogenik (Hartaningsih, 1994).
Penyakit jembrana adalah penyakit viral pada sapi, terutama sapi Bali, yang ditandai dengan depresi, anoreksia, demam, perdarahan extensive di bawah kulit, dan kebengkaan kelenjar limfe, terutama limfoglandula prefemoralis dan prescapularis serta diare berdarah. Banyak kasus penyakit disertai pula dengan perdarahan kulit, hingga sering disebut sebagai berkeringat berdarah. (Subronto, 2000). Penyakit ini terutama menyerang sapi Bali dewasa dengan rata-rata umur 3-4 tahun. Dalam keadaan tertentu, hewan terserang penyeakit ini dapat menjadi sembuh (Akoso, 1996).
Penyakit Jembrana (Jembrana Disease/JD), sejak akhir tahun 1960an telah menjadi penyebab untuk kematian dari beribu-ribu sapi di Bali. Sapi Bali adalah satu komponen utama pertanian kepulauan Indonesia. Mereka menyediakan kulit dan daging untuk populasi dan pendapatan untuk pemiliknya. Penelitian menetapkan bahwa patogenitas yang bertanggung jawab untuk penyakit Jembrana adalah satu retrovirus sapi (satu lentivirus). Ini ditetapkan dari pengamatan bahwa ada reaksi silang antara virus penyakit Jembrana (JDV) dan bovine imunodefisiensi virus (BIV). Dua protein, p26 protein dari Jembrana dan 26K protein kapsid dari BIV, bereaksi silang pada suatu pengujian Blot Western. Informasi mengenai penelitian ini ditransfer ke para rekan kerja Indonesia pada Unit penyelidikan penyakit sapi Bali di Denpasar. Para peneliti sekarang harus mengembangkan satu test untuk mendeteksi virus pada sapi untuk tujuan belajar bagaimana penyebaran penyakit. Sapi yang memerlukan perawatan juga perlu untuk dikenali. (Brownlie,1993.)
Selain sapi Bali, sapi Ongole, Holstein, dan Madura juga dapat terserang jembrana meskipun gejala klinisnya kurang nyata. Banyuwangi, Jawa Timur, penykit telah menyerang sapi Bali dan sapi Rambon, yaitu sapi silangan antara sapi Bali dan Ongole. Kecuali di laboratorium untuk kepentingan percobaan, species lain seperti kambing, domba, dan babi tidak pernah di laporkan terserang oleh penyakit tersebut. (Subronto, 2000)
Penelitian terhadap penyakit telah dilakukan sejak 1967 oleh Adiwinata, Pranoto dan Pujiastono, dari Lembaga Virologi di Surabaya. Berdasarkan gejala klinis dan temuan pada waktu bedah bangkai, serta gambaran patologi anatomik lainnya, penyakit jembrana diusulkan sebagai penyakit mirip dengan sampar sapi (Rinderpest like disease). Peneliti Jepang Sonoda, yang waktu itu didatangkan oleh Pemerintah, telah melakukan uji netralisasi serum dari sapi-sapi penderita Jembrana dengan virus rinderpest. Delapan dari 319 sampel sera yang diperiksa ternyata bereaksi positif, meskipun positif lemah. Dengan temuan tersebut kemudian dilakukan penyuntikan vaksinasi secara besar-basaran terhadap sapi sehat di Bali, dengan menggunakan lapinized avianized rinderpest virus vaccine. Untuk beberapa tahun tidak dilaporkan kejadian penyakit setelah program vaksinasi dilakukan (Subronto, 2000).
Pada tahun 1972 wabah kembali meletup di Tabanan dan menyerang sapi yang belum pernah maupun yang sudah divaksin. Oleh kedua peneliti Hardjosworo dan Budiarso dari Bogor, penyakit diusulkan dinamai penyakit Tabanan. Dari kasus yang mereka teliti (1972) dapat diisolasi organism Rickettsia, setelah pasasi cairan tubuh melalui marmot. Di Bogor, keduanya juga berhasil menemukan organisme yang sama dari dua sapi yang diseksinya. Peneliitian lanjutan ke arah rickettsia oleh Bali Cattle Disease Investigation Unit (BCDIU) tidak membuahkan hasil yang memuaskan. (Subronto, 2000)
Pada tahun 1976 kembali wabah terjadi di daerah transmigrasi Ramadewa, Lampung, pada sapi Bali yang dipelihara oleh orang-orang yang berasal dari Bali. Karena status penyakit jembrana saat itu belum jelas, penyakit di Lampung disebut saja penyakit Ramadewa. Beberapa tahun kemudian, kembali penyakit jembrana terjadi di Banyuwangi, dan menyerang ratusan sapi Bali dan Rambon.(Subronto, 2000)
Setelah berpuluh tahun kejadian penyakit jembrana dapat dilokalisasikan di tiga propinsi, yaitu Bali, Jawa Timur dan Lampung, tiba-tiba wabah yang cukup mengejutkan terjadi di daerah transmigrasi yang pengadaan sapinya disponsori oleh IFAD di Sawahlunto, Sumatera Barat pada bulan April 1992. Dalam waktu yang sangat singkat 168 ekor sapi dari 398 sapi yang sakit telah mati (Hartaningsih, 1994).

Setelah melalui penelitian yang sangat panjang dan intensif, oleh tim peneliti di BCDIU di bawah supervisi Wilcox pada tahun 1987 telah dapat diisolasi virus penyebab penyakit jembrana dari plasma atau serum sapi yang sedang demam. Virus yang ada di dalam darah hewan demam dapat secara bebas ditemukan di luar sel darah dalam jumlah yang sangat banyak (103 virus/ml) dan tetap akan berada dalam jumlah kecil (100/ml) di dalam darah selama lebih dari 2 tahun. Virus tersebut mempunyai enzim reverse transcriptase, berkembang biak dalam sel dan keluar sel melalui proses budding mirip virus lenti tipe C, dapat dihancurkan dengan ether, mempunyai 4 jenis protein yang utama (p26, p16, p100, dan grup p38-42-45). Seperti telah di sebutkan di atas, salah satu proteinnya (p26) bereaksi silang dengan protein dari bovine immunodeficiency virus (BIV). Penelitian virus jembrana sampai saat ini masih dilakukan dengan cara pelacakan susunan DNA atau “sidik jari”(DNA sequensing) untuk membuktikan bahwa virus jambrana adalah virus jenis baru dalam grup Lentivirinae. (Subronto, 2000)
Penemuan ini menarik perhatian dunia karena virus penyebab penyakit jembrana ini satu kelompok dengan virus HIV penyebab AIDS pada manusia. Ada banyak bukti yang menunjang bahwa virus jembrana merupakan virus yang menyebabkan immunodeficiency pada hewan khususnya sapi Bali. (Subronto, 2000)
Sapi Bali (Bos javanicus) adalah pusat pertanian dari kepulauan Indonesia. Lagipula, di dalam kebudayaan orang Bali, sapi dimuliakan. Banyak festival-festival peraturan adat diarahkan pada pemujaannya. Dan pada akhir 1960an terjadi satu penyakit yang mendatangkan malapetaka dikenal sebagai penyakit Jembrana (JD). Dalam perjangkitan epizootik pertama nya, JD membunuh 60,000–80,000 sapi. Sejak itu, epizootiknya lebih lanjut dari penyakit Jembrana telah dicatat. Sekarang mempertimbangkan endemic di dalam penempatan-penempatan tertentu, termasuk pulau utama dari Bali. (Subronto, 2000)
Agen penyakit dikerahkan untuk menjadi bovine retrovirus. Pekerjaan lain dari Institut Kesehatan hewan (IAH) di dalam UK pada retrovirus lain, bovine virus imunodefisiensi (BIV), bahan reaksi yang dihasilkan dan teknik-teknik yang berguna di dalam mengidentifikasi Virus penyakit Jembrana (JDV) patogen.

Penelitian DFID Ini mengarahkan untuk membandingkan JDV dan BIV. Peneliti-peneliti percaya bahwa satu pertukaran dari serological bahan reaksi akan menunjukkan bahwa dua adalah sebangun. Satu pertukaran karena virus lebih lanjut, bahan-bahan klinis dan molekular akan mengkonfirmasikan identifikasi JDV patogen. Informasi yang diperoleh dari proyek bersama dengan para rekan kerja Indonesia ini akan ditujukan untuk riset masa depan.
Para peneliti antar IAH pada Compton dan Bali Cattle Disease Investigation Unit di Denpasar, Indonesia dipertukarkan. Seleksi penuh sampel darah dan jaringan (untuk mRNA dan DNA) diambil di Bali dari kedua-duanya infeksi JDV dan kontrol (bebas dari penyakit) hewan. Sampel DNA dan RNA yang diperoleh digunakan untuk membantu mengkonfirmasikan identifikasi patogen yang dilibatkan di dalam JDV. Mereka bekerja dengan pedoman peneliti-peneliti pada IAH dipimpinnya untuk memastikan virus adalah satu lentivirus.
Meskipun demikian riset ini sedikit banyaknya ditularkan dari petani-petani miskin di Indonesia, ini merupakan suatu langkah utama yang sangat penting dalam membantu untuk meningkatkan mata pencarian mereka. Sejak virus telah dikenali menyebabkan penyakit, riset dapat mulai untuk temukan cara untuk menyerang penyakit.
Para pekerja kesehatan hewan akan membutuhkan peralatan diagnostik dan test awal untuk mengidentifikasi bahwa sapi membawa virus. Ini akan membantu mereka memahami bagaimana JDV tersebar dan memungkinkan para petani untuk menaggulangi sapi yang yang terinfeksi dan sapi sehat dari kontak dengan hewan-hewan sakit lainnya. Proyek ini akan secepatnya membantu petani-petani dan para agen nasional.
Tipe Lentiviruses mempunyai masa inkubasi panjang yang diikuti oleh pengembangan pelan dan pada umumnya penyakit fatal, tetapi pada sapi secara eksperimen JDV-inoculated, masa inkubasi bervariasi dari 5 sampai 12 hari sebelum menunjukkan gejala klinis yang meliputi demam, lymphadenopathy, dan lymphopenia. Meskipun demikian, JDV sangat serupa dengan lentiviruses lain dalam struktur protein, kereaktifan antigen, dan urutan genom. Genomnya berisi gag gen struktural, pol, dan env, pengapit pengulangan-pengulangan terminal panjang dan sejumlah aksesori dan gen-gen pengatur. Jtat, transactivator dari protein rekaman yang disandikan oleh JDV, yang sangat homologus untuk tat protein yang disandikan oleh lentivirus lain dan telah di cakup dalam JDV-mediated Jembrana disease pathogenesis .Bagaimanapun, dasar mekanisme molekular yang tersebut di atas mempengaruhi Jtat sebagian besar tidak dikenal. pada studi ini, hasilnya mengungkapkan bahwa Jtat mengikat kedua-duanya tubulin dan mikrotubula, mempromosikan tubulin polimerisasi, dan peningkatan stabilitas mikrotubula. Lagipula, hasilnya menunjukkan bahwa perubahan dinamika mikrotubula oleh Jtat memicu Bim-dependent apoptosis. Data ini menunjukkan bahwa Jtat-mediated gangguan induksi dan dinamika mikrotubula apoptosis boleh berperan untuk patogenesis dari penyakit Jembrana
(Brownlie, 1993)

Keluarga Retroviridae dikelompokkan kedalam tujuh genus, hanya dua darinya, yaitu Lentivirus dan Spumavirus.
Sifat Retrovirus :
Retrovirus merupakan salah satu golongan virus yang terdiri dari satu benang tunggal RNA (bukannya DNA). Setelah menginfeksi sel, virus tersebut akan membentuk replika DNA dari RNA-nya dengan menggunakan enzim reverse transcriptase (Anonim, 2004).
Virion retrovirus membulat, berdiameter 80-130 nm, dan mempunyai struktur 3 lapis yang unik. Lapisan tengah merupakan kompleks genom-nukleoprotein, yang meliputi sekitar 30 molekul transkriptase balik dan mempunyai kesimetrian helix. Struktur ini terbungkus oleh kapsid iksahedra, yang selanjutnya dikelilingi oleh amplop asal membran sel inang dan dari sini mencuat peplomer glikoprotein.
Genom Retrovirus adalah unik diantara genom virus dalam berbagai hal. Genom tersebut merupakan satu-satunya genom diploid. Genom tersebut merupakan satu-satunya RNA virus yang disintesis dan diproses oleh mesin pengolah mRNA dari sel inang. Genom tersebut merupakan satu-satunya genom yang berkaitan dengan tRNA khusus yang berfungsi mempersiapkan replikasi.
Beberapa Retrovirus menyebabkan tumor ganas, terutama leukemia dan sarkoma. Virus dari genus Lentivirus menyebabkan penyakit saraf dimielinasi yang lambat, arthritis, penyakit lesu kronis yang umum atau AIDS.
Lentivirus barbeda dengan retrovirus lainnya dalam struktur rinci genomnya, yang mengandung beberapa daerah pengatur yang tidak dijumpai pada retrovirus lain dan dalam morfogenesis dan morfologi virionnya. Membran plasmanya sangat menebal pada tempat penguncupan dan nukleokapsid dalam virion dewasa terlihat sebagai silinder padat, seringkali dengan penumpukan materi pekat elektron pada satu ujungnya.

Sifat lentivirus
Dari banyak sifatnya termasuk stuktur virion dan siklus replikasi, lentivirus mirip dengan retrovirus lain, tetapi terdapat perbedaan yang penting. Nukleokapsid virionnya berbentuk silinder dan bukan ikosahedra. Genomnya lebih besar daripada genom retrovirus, sekitar 10kb, dan sebagai tambahan atas gen gag, pol dan env, terdapat enam gen kecil non stuktur yang tidak dijumpai pada retrovirus lain, yang mengatur berbagai kejadian dalam siklus respirasi. Gen pol dan env terpisah pada lentivirus mempunyai kesamaan satu sama lainnya tetapi tidak dengan retrovirus lain.
Virus imunodefisiensi sapi
Virus imunodefisiensi sapi diisolasi dari leukosit darah perifer pada 1972. genomnya sudah dipetakan danmirip dengan enom lentivirus lain. Virus ini dapat ditumbuhkan dalam biakan sel lapis tunggal dari berbagai jaringan embrio sapi, menghasilkan perubahan pada sel yang dicirikan oleh pembentukan sinsitium. Bila virus ditularkan kepada pedet melalui inokulasi intra vena segera terjadi leukopenia yang diikuti dalam waktu 15-20 hari oleh limfositosis yang menetap. Virus tetap hidup dalam sapi yang terinfeksi secara alami selama paling tidak 12 bulan. Tetapi belum diketahiu prevalensi infeksi maupunpengaruh ekonominya.
(Fenner, 1993)

Pathogenesis
Dahulu JD dinyatakan sebagai penyakit yang bersifat noncontagious dalam arti tidak terjadi penularan secara kontak langsung antara hewan sakit dengan hewan sehat. Secara eksperimental, Dennig (1977) mengklaim bahwa caplak Boophilus microplus mampu menularkan JD secara transovarial, ini berarti terjadi perkembangbiakan dari agen JD di dalam tubuh caplak. Mekanisme penularan secara mekanis terjadi karena arthropoda pengisap darah mengalami gangguan pada saat mengisap darah (interrupted feeding) hewan penderita dan selanjutnya mengisap darah kembali pada hewan sehat. Pada saat inilah dapat terjadi penularan, yaitu melalui virus yang mengkontaminasi alat mulut arthropoda pengisap darah tersebut. Dalam kaitan itu, Putra (1993) telah melaporkan bahwa virus JD yang mengkontaminasi alat mulut Tabanus rubidus mampu menimbulkan gejala klinis dan perubahan patologi / histopatologi JD pada hewan percobaan. Secara eksperimental, virus JD yang mengkontaminasi alat mulut nyamuk juga mampu menimbulkan JD pada hewan percobaan (Putra dkk., 2004). Penyidikan vektor biologis lainnya telah dilakukan pada nyamuk Aedes lineatopennis. Dengan variasi jumlah nyamuk yang digunakan serta variasi masa inkubasi (extrinsic incubation period), Putra (2002) melaporkan bahwa Aedes lineatopennis tidak mampu mendukung perkembangbiakan virus JD. Dengan kata lain nyamuk ini tidak memiliki potensi untuk menularkan JD secara biologis. Lebih lanjut, Putra menyarankan bila agen JD adalah retrovirus maka penularan JD melalui serangga pengisap darah mungkin terjadi secara mekanis. Tingginya titer virus JD dalam darah penderita pada saat demam (masih infeksius pada pengenceran 10-8) (Soeharsono et al., 1990) memberi peluang terhadap arthropoda pengisap darah untuk menularkan JD secara mekanis. Jarak yang berdekatan antara hewan sakit dengan yang sehat merupakan salah satu faktor penting dalam penularan penyakit melalui vektor mekanis, khususnya terhadap agen penyakit yang daya tahan hidupnya (viabelitas) rendah di luar tubuh hospes.(Putra,1995)
Sel target pokok dari lentivirus in vivo adalah monosit/makrofag dan limfosit. Setelah penetrasi ke organisme, LV bereproduksi di nodus limfatikus, limfa dan sunsum tulang menjadi lokasi terbaik, dari monosit dan makrofag meneruskan provirus ke seluruh organ. Setelah mencapai otak, pulmo, sendi dan organ lain, monosit dewasa, transformasi menjadi makrofag dan menyebabkan pre-kondisi aktivasi dari provirus dan inisiasi dari infeksi produktif. Rute penyebaran infeksi sangat dipercaya, karena imunokompeten terinfeksi sel bertindak seperti Trojan horse: virus di antara mereka tidaklah dikenali oleh sistem yang kekebalan dan seperti itu, tinggal tetap utuh. Ketekunan unsur-unsur selular ini adalah salah satu dari mekanisme pathogenetic yang utama tentang infeksi lentivirus bulanan atay tahunan.(Shuljak,2007)

Gejala Penyakit :
Hewan yang terserang penyakit ini menunjukkan kenaikan suhu badan yang tinggi, berkisar antara 40-42 C, disertai kelesuan dan kehilangan nafsu makan. Tanda-tanda ini disusul dengan pengeluaran ingus berlebihan, lakrimasi, dan hipersalivasi. Pada awalnya ingus bersifat encer dan bening, tetapi kemudian berubah menjadi kental seperti cairan mukosa. Gejala selanjutnya adalah pembengkakan dan pembesaran kelenjar limfe superficial; yang pertama membengkak adalah kelenjar limfe preskapularis, lalu kelenjar limfe prefemoralis dan akhirnya sekali-sekali kelenjar limfe parotidea. Pembesaran kelenjar limfe ini bersifat bilateral dan ukuran besarnya dapat sebesar tinju orang dewasa, sehingga perubahan ini mudah dilihat dari jarak jauh.
Sekitar 23% dari hewan yang menderita menunjukkan perdarahan dan erosi di bagian selaput lendir di sekitar lubang hidung, bagian dorsal lidah, dan rongga mulut. Di dalam rongga mulut lesi biasanya ditemukan di selaput lendir bagian dalam, pipi, bibir atas dan bawah, dan gusi rahang atas atau bawah. Ukuran erosi ini bervariasi, dari beberapa milimeter sampai lebih dari lima sentimeter. Bentuknya biasanya lonjong bundar atau memanjang. Kadang-kadang ditemukan juga di tepi dan sepanjang bibir di daerah perbatasan antara kulit dan selaput lendir nekrotik yang cukup luas. Jaringan yang mati ini mudah dikelupas dan meninggalkan luka yang merah dan dasarnya bergranulasi.
Perdarahan yang berbentuk linier kadang ditemukan pada mukosa bagian bawah pangkal lidah. Perdarahan ini dengan mudah bisa dilihat bila lidah ditarik keluar. Perdarahan ini dapat dilihat sewaktu hewan masih hidup dan biasanya tidak nampak lagi setelah hewan mati.
Salah satu gejala menyolok adalah “berkeringat darah”. Keadaan ini biasanya terlihat sewaktu dan setelah demam dan berlangsung 2-3 hari. Kira-kira 7% hewan yang bersuhu badan 41 C atau lebih memperlihatkan gejala tersebut. Gejala ini terutama ditemukan di daerah panggul, punggung, perut, dan skrotum. Keringat yang encer, seperti air dan berwarna merah darah jika masih segar, dan menetes dari permukaan kulit melalui sepanjang rambut. Jika keringat menempel pada batang rambut, maka akan terbentuk kerak berbintil-bintil dan tidak lepas jika diusap dengan tangan.

Bulu penderita menjadi kasar, kurang mengkilat dan berdiri. Ritme pernafasan dan denyut nadi menjadi lebih cepat. Sapi yang menderita demam tinggi biasanya mengalami konstipasi dan setelah suhu badan menurun hingga normal, disusul dengan diare. Sewaktu konstipasi sifat tinja padat dan keras, dan kadang-kadang bercampur bekuan darah. Bila diare maka konstipasi tinja menyerupai air, berbau busuk dan kadang-kadang tercampur bekuan darah atau darah segar. Pada hewan sakit atau hewan yang sering mendekam dapat terjadi keluarnya darah segar dari anus, hal ini mengakibatkan prolapsis rekti. Kadang-kadang juga ditemukan hematuria.
Gejala lain yang sering terlihat adalah perdarahan pada selaput lendir alat kelamin. Kemerahan dan perdarahan juga dapat ditemukan pada selaput lendir mata. Bahkan kadang-kadang, walau sangat jarang, ditemukan perdarahan di dalam kamar mata depan dan gumpalan bekuan darah mengisi sebagian ruang mata. Demam tinggi biasanya juga disertai kepincangan pada satu atau dua kaki. Kaki yang pincang terlihat sedikit membengkak karena oedema dan hiperemi di daerah zona koronaria. Bila daerah bengkak ini dipegang atau ditekan, penderita menunjukkan rasa kesakitan. Gejala pincang tidak bersifat permanen dan dapat menghilang atau sembuh sendiri secara cepat.
Sapi betina bunting yang mengalami penyakit ini sering mengalami keguguran, terutama pada bunting 4 bulan atau lebih. Hewan yang lebih mudah terserang penyakit ini adalah hewan yang berumur lebih dari satu tahun. Umur rata-rata sapi yang peka terserang penyakit ini berkisar antara 3-4 tahun.
Diagnosa banding
Diagnosa banding secara klinis penyakit Jembrana dapat dikelirukan dengan MCF, SE, IBR, Tripanosomiasis, Rinderpest dan BEF.
Kejadian di Indonesia
Sejauh ini penyakit jembrana hanya dikenal di Indonesia dan hanya menyerang sapi Bali. Wabah pertama terjadi pada tahun 1964-1967 di Kabupaten Jembrana, Gianyar, Klungkung, Bandung, Tabanan dan Buleleng adalah wabah terbesar. Wabah selanjutnya lebih kecil seperti pada tahun 1972, 1974 di mulai di Kabupaten Tabanan, kemudian menjalar ke Kabupaten yang sama seperti wabah tahun 1964, tahun 1977 di Kabupaten Karangasem dan tahun 1979 terjadi lagi di Malaya, Kabupaten Jembrana da Gerokgak Kabupaten Buleleng.
Daerah yang pernah melaporkan adanya wabah akan menjadi daerah enzootic yang mengalami kasus sporadic sepanjang tahun.
Hewan rentan
Penyakit Jembrana hanya menyerang sapi Bali. Sebegitu jauh, penyakit Jembrana tidak ditemui pada rumpun sapi yang lain. Hewan yang terserang berumur lebih dari satu tahun dan yang terbanyak pada umur 4-6 tahun. Jenis kelamin tidak mempengaruhi kejadian penyakit.
Cara penularan
Cara penularan sampai sekarang belum diketahui dengan pasti, tetapi pengalaman menunjukkan bahwa penyemprotan dengan pestisida dapat mencegah perluasan wabah yang berarti bahwa vector mempunyai peranan dalam penularan penyakit.
Endang dalam seminar bioetika (2008) menyampaikan bahwa penularan penyakit Jembrana ini terjadi secara mekanis dapat terjadi melalui gigitan lalat, misalnya Tabanus rubidus atau dengan perantara jarum suntik.
Data yang sampai sekarang ada, menunjukkan angka sakit yang rendah (lebih kurang 1%) dan angka mati kasus (case fatality rate) 10-13%. Angka ini bisa meningkat mencapai 40% pada daerah yang baru pertama kali terkena wabah/ dan pada wabah di daerah yang sangat padat populasinya.
Sapi yang menderita penyakit Jembrana boleh dipotong dan dagingnya dapat dikonsumsi. Bangkai sapi yang terserang penyakit Jembrana harus dimusnakan dengan dikubur atau dibakar. Kandang dan lingkungannya harus didesinfeksi secara teliti (Endang, 2008).

Tindakan
1. Pencegahan
Selama ini pencegahan dilakukan dengan vaksin dari Crude vaccine berasal dari organ limfa sapi Bali terserang akut penyakit Jembrana Crude vacinne mempunyai daya imunogenitas rendah, tidak stabil, mahal, dan keberadaannya terbatas atau inbalance antara volume vaksin dengan jumlah populasi sapi Bali. Pengembangan vaksin Jembrana oleh karenanya dirasa perlu untuk meningkatkan mutu dan kualitas vaksin Jembrana Guna memenuhi keperluan ini pendekatan dengan teknologi DNA rekombinan utamanya pada protein rekombinan adalah terobosan yang tepat untuk penyediaan vaksin Jembrana berbasis molekuler. Sebagai bahan vaksin rekombinan digunakan potongan gen yang berasal dari genom virus Jembrana. Diketahui bahwa Genom JDV berupa RNA untai tunggal yang terdiri atas 7.732 nukleotida. Di dalam genom JDV terdapat salah satu gen, yaitu tat yang merupakan asesoris kecil dan Genom JDV terletak antara pol dan env. Selain itu terdapat pula gen env yang dapat menyandi protein rekombinan JSU dan JTM. Sementara ini telah di kloning protein Jtat dengan Sistem pET yang mempunyai fusi protein berukuran 6 histidin. Ukuran fusi-protein yang sangat kecil ini menjadikan protein rekombinan Jtat yang dihasilkan mempunyai efikasi tinggi. Sistem ekspresi melalui E. coli BL-21 saat ini sedang diuji dalam skala laboratorium (200 ml kultur). Keberhasilan kloning JTat sebagai vaksin rekombinan Jembrana ini akan mendorong untuk perakitan clone dari sumber gen env (JSU dan JTM) sebagai bahan vaksin rekombinan Jembrana lainnya.

2. Pengendalian dan pemberantasan
Setiap hewan sakit harus benar-benar diisolasi. Pemusnahan vektor harus dilaksanakan dengan segera, baik pada setiap kandang yang terjangkit maupun sekitarnya secara meluas. Tergantung dari populasi vektor, penyemprotan dengan pestisida dapat diulang setiap 1-2 minggu.
Pelaksanaan penanggulangan atau pemberantasan penyakit ingusan dilakukan dengan undang-undang kehewanan, antara lain :
a. ternak yang menderita atau terserang sakit ingusan harus disingkirkan sedemikian rupa sehingga tidak akan bersentuhan degan ternak-ternak lain, khususnya dengan domba.
b. Tempat pengasingan ternak yang sakit, harus terpisah dari ternak yang sekandang dan sepekarangan lainnya.
c. Ternak yang tersangka sakit bila setalah 2-3 bulan dalam pengasingan tidak memperlihatkan gejala-gejala sakit dapat dibebaskan.


d. Pengasingan sedapat mungkin dilakukan setempat dan didekatnya disediakan lubang-lubang sedalam 2-2,5 meter untuk tempat pembuangan kotoran atau cairan dari tempat pengasingan. Lubang-lubang tersebut ditimbun dengan tanah, bilamana telah terisi sampai 60 cm di bawah permukaan tanah dan setiap 60 cm ditimbun lagi.
e. Semua orang kecuali petugas pemelihara ternak yang diisolasi dilarang memasuki tempat pengasingan.
f. Di pintu kandang atau halaman tempat pengasingan di pasang papan yang antara lain bertuliskan ” Penyakit Hewan Menular Ingusan ” disertai dengan nama daerah setempat.
g. Setelah ternak yang sakit mati atau sembuh maka kandang tempat, barang-barang yang pernah bersentuhan dengan ternak tersebut harus dihapushamakan. Kandang, tempat, atau barang-barang yang terbuat dari bambu atap, alang-alang yang sulit dihapushamakan harus dibakar.
h. Bangkai ternak sakit ingusan harus dibakar atau dikubur.

3. Pengobatan
Hasil penelitian penggunaan antibiotik kurang memuaskan tetapi tidak ada salahnya antibiotik berspektrum luas digunakan/dicoba untuk pengobatan, setidak-tidaknya untuk mencegah infeksi sekunder. Penyuntikan dengan antibiotik harus dilakukan sedini mungkin dan harus dijelaskan secara tepat kepada pemilik ternak bahwa kemungkinan adanya kematian masih tetap ada, jangan sampai para petugas menjadi bulan-bulanan pekerjaan sendiri.
Disamping antibiotik, pemberian obat penguat sangat dianjurkan.








DAFTAR PUSTAKA

Akoso, Budi Tri. 1996. Kesehatan Sapi. Yogyakarta : Kanisius
Fenner, Frank J. 1993. Virologi Veteriner. Academic press. Inc, Toronto, New York
Subronto. 2003. Ilmu Penyakit Ternak I. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
Pedoman Pengendalian Penyakit Hewan Menular Jilid II. Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jend. Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian Jakarta
Agustini, Ni Luh Putu dan Hartaningsih, Nining. 2005. Produksi Rekombinan Protein Virus Jembrana (J Gag 6) untuk Antigen Elisa
Putra, Anak Agung Gde, Sulistyana, Kukuh dan Budianto. 1995. Kemampuan Virus Jembrana yang Mengkontaminasi Alat Mulut Nyamuk (Aedes, Culex) untuk Menimbulkan Penyakit pada Sapi Bali
Chadwick, B.J. et al. 1998. Detection of Jembrana Disease Virus in Spleen, Lymph nodes, Bone Marrow and Other Tissues by in situ Hybridization of Paraffin-Embedded Sections. Journal of General Virology 79 : 101-106
Chen, Hexin et al. 1999. Characterization of the Jembrana Disease Virus tat Gen and the cis- and trans- Regulatory Elements in Its Long Terminal Repeats. Journal of Virology 01 : 658-666
Pallans, Lackman-Smith, and Gonda. 1992. Bovine Immunodeficiency-Like Virus Encodes Factors Which trans Activate the Long Terminal Repeat. Journal of Virology 05 : 2647-2652

Tidak ada komentar:

Posting Komentar